Jalan menuju Puskesmas Banggae 1 bukanlah jalur yang lapang. Aksesnya sempit, kanan-kirinya dipenuhi deretan ruko. Sekilas, orang mungkin tak mengira bahwa di balik gang sederhana itu berdiri salah satu puskesmas dengan beban layanan cukup tinggi di Kabupaten Majene.
Namun justru di ruang yang terbatas itulah, denyut pelayanan kesehatan masyarakat berdenyut setiap hari. Puskesmas Banggae 1 menjadi tumpuan ribuan warga, dari bayi yang baru lahir hingga orang tua yang membutuhkan kontrol kesehatan rutin.
Hampir lima tahun terakhir, saya cukup sering datang ke Puskesmas ini. Dari kali pertama berkunjung hingga hari-hari terakhir September ini, kesan yang saya tangkap selalu sama ramai, padat, tapi penuh semangat. Tenaga kesehatan di sini harus berjibaku dengan ruang yang terbatas, antrean pasien yang panjang, dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.
Meski begitu, wajah-wajah yang saya temui jarang sekali menunjukkan keluhan. Dokter, perawat, bidan, hingga tenaga farmasi bekerja dengan irama cepat tapi terukur. Ada rasa tanggung jawab yang begitu kuat, seolah ruang yang sempit tak mampu mengecilkan niat mereka untuk melayani.
Hari Jumat, 26 September 2025, saya kembali hadir di sana. Kali ini dalam agenda evaluasi pelaksanaan Rekam Medis Elektronik (RME). Diskusi berlangsung cukup hangat. Dari persoalan teknis seperti ketersediaan laptop tambahan dan aktifasi fitur skrining, sampai pada ide kreatif berupa lomba inovasi nama RME agar staf lebih bersemangat.
Capaian RME Puskesmas Banggae 1 sebenarnya sudah cukup baik. Data yang disampaikan menunjukkan angka di atas standar minimal 50 persen yang dipersyaratkan Kemenkes. Namun, pekerjaan belum selesai. Kepala Puskesmas Banggae 1, dr. Surijanti Jaddu, memberi catatan penting.
“Puskesmas Pembantu kami sudah mulai mengimplementasikan RME. Tapi kendala masih ada, terutama karena tidak semua data layanan berhasil terkirim ke platform SATUSEHAT. Ini yang terus kami upayakan perbaikannya.”
Hal-hal yang tampak sederhana, seperti sistem pemanggilan antrean yang masih menggunakan nomor, juga dibahas serius. “Pasien lebih senang dipanggil dengan nama, bukan sekadar angka,” ujar salah seorang staf. Dari sana terasa betul bahwa digitalisasi bukan hanya soal aplikasi, tapi juga soal pengalaman pasien.
Sebagai salah satu puskesmas di wilayah perkotaan Majene, Banggae 1 memang menghadapi beban layanan yang tidak kecil. Setiap hari puluhan bahkan ratusan warga datang dengan beragam kebutuhan mulai dari imunisasi, pemeriksaan ibu hamil, layanan gawat darurat, hingga kontrol penyakit tidak menular seperti hipertensi dan diabetes.
Beban itu diperberat dengan keterbatasan sarana dan akses fisik menuju puskesmas. Tapi justru di situlah letak keistimewaannya, Puskesmas Banggae 1 tetap berusaha menyesuaikan diri, bahkan melangkah lebih jauh dengan transformasi digital.
Evaluasi RME yang saya ikuti hari itu berlangsung hingga siang. Diskusi ditutup dengan sejumlah catatan perbaikan dan target baru. Namun lebih dari sekadar rapat, saya melihat ini sebagai simbol komitmen. Di ruang yang terbatas, ada tekad besar untuk berubah.
Dan meski banyak hal berubah, dari cara mencatat layanan hingga cara melaporkan data namun ada dua hal yang tetap sama kopi susu dan pisang goreng. Dua kudapan sederhana ini setia hadir di meja rapat, menjadi teman diskusi bertahun-tahun lamanya.
Bagi saya, itu sekaligus pengingat bahwa transformasi boleh melaju, sistem boleh berubah, tetapi ada nilai kebersamaan yang tak pernah pudar.
Bagi saya, Puskesmas Banggae 1 adalah contoh nyata bagaimana pelayanan publik sering kali berjalan di antara keterbatasan. Jalan masuk boleh sempit, ruang kerja boleh terbatas, tapi semangat tenaga kesehatan di dalamnya terasa jauh lebih luas.
Dari kunjungan ke Banggae 1, saya belajar lagi bahwa kesehatan masyarakat bukan hanya tentang gedung megah atau fasilitas lengkap, melainkan tentang komitmen manusia-manusia di dalamnya untuk tidak pernah mengecilkan pelayanan, bahkan di ruang sesempit apa pun.







