Pagi Sabtu 6 Desember 2025, Mamuju sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya ketika jam menunjukkan pukul 09.30 WITA. Saya dan Zaldy Al Qadri rekan sekantor yang sudah seperti partner tetap dalam perjalanan lapangan mulai melaju meninggalkan Mamuju dari Wisma 45 di Emmy Saelan. Ini adalah perjalanan kedua kami ke Puskesmas Tampapadang dalam dua bulan terakhir. Ada perasaan familiar, seperti mengunjungi rumah yang belum lama ditinggalkan.
Perjalanan menuju Tampapadang selalu menghadirkan ritme yang sama jalan berkelok, cerita gosip yang menyusup di sela percakapan, dan pikiran yang bersiap menghadapi diskusi panjang tentang pelayanan kesehatan. Pukul 10.14 WITA, kami tiba di halaman puskesmas. Udara terasa panas dengan beberapa mobil terparkir sudut bangunan yang besar dengan nuansa warna biru merah. Saya kemudian memilih parkir di bawah pohon di depan Puskesmas.
Aula tempat Lokakarya Mini seharusnya dimulai pukul 10.00. Tetapi ruangannya masih kosong. Kursi-kursi tertata rapi, TV sudah menyala, namun tidak ada satu pun peserta. Dari kejauhan terdengar aktivitas di ruang pelayanan. Rupanya, teman-teman puskesmas masih berjibaku dengan antrean pasien. Di banyak tempat, pelayanan dan rapat sering bertabrakan jadwalnya dan pelayananlah yang selalu menang.
Tak lama setelah kegiatan berjalan, pintu aula terbuka. Masuklah dr. Sita Harits Ibrahim, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju. Seorang spesialis penyakit dalam senior, suaranya tenang namun tegas, kehadirannya langsung mengisi ruangan. Ia duduk, mengamati sebentar, lalu mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan pemantik yang membuat suasana diskusi berubah dari formal menjadi benar-benar serius.
Lokmin kali ini dipimpin oleh KTU Puskesmas Tampapadang, dihadiri para penanggung jawab klaster dan bidan desa. Dua pokok bahasan mengemuka capaian SPM dan penyusunan dokumen Penilaian Kinerja Puskesmas. Masalahnya cukup klasik namun tetap menuntut perhatian capaian SPM masih rendah, terutama layanan ibu hamil dan usia produktif. Sementara dokumen penilaian kinerja sudah terisi, namun belum juga dikirim ke dinas.
Di sinilah saya merasakan kembali betapa tantangan puskesmas tak pernah sekadar angka. Setiap persen capaian adalah cerita Panjang ada ibu hamil di dusun jauh yang belum sempat diperiksa, ada warga usia produktif yang lebih memilih bekerja daripada datang ke layanan kesehatan, atau ada kader desa yang baru saja pindah sehingga data tidak tersampaikan. SPM hanya tampak sebagai indikator, tapi di balik itu adalah wajah-wajah yang belum tersentuh layanan.
Rencana tindak lanjut disepakati Bersama, Puskesmas akan menyusun laporan SPM berbasis PWS, memetakan sasaran belum terlayani per desa, memperkuat pendampingan dokumen kinerja berbasis klaster, dan memberi ruang lebih besar bagi bidan desa pada Lokmin berikutnya. Di titik ini, terasa jelas bahwa puskesmas bukan sekadar fasilitas, melainkan ekosistem kecil yang berjuang naik kelas di tengah segala keterbatasan.
Usai kegiatan, kami kembali ke Mamuju. Sengaja tidak makan siang di Puskesmas karena ada misi lain. Perjalanan rasanya tidak lengkap tanpa mampir makan. Warung Pokok 3 menjadi pilihan. Di sana, ikan bakar dan ikan masak tersaji hangat, aromanya memanggil selera. Kali ini rezeki bertambah, bang Zaldy mentraktir. Makanannya sederhana, namun setelah diskusi panjang dan perjalanan cukup jauh, rasanya seperti jamuan lengkap.
Setiap pertemuan dengan teman-teman puskesmas selalu menghadirkan hal baru. Meski tempatnya sama, persoalannya serupa, dan wajah-wajahnya familiar, selalu ada pelajaran yang saya bawa pulang. Mungkin karena kami semua sedang menjalani hal yang sama yaitu tumbuh bersama lewat proses belajar yang tak pernah selesai.
Dan seperti perjalanan ke Tampapadang kali ini, setiap langkah kecil dalam meningkatkan pelayanan kesehatan juga membutuhkan waktu, kesabaran, dan keberanian untuk terus berjalan meski aula kadang masih kosong saat jam sudah menunjukkan waktunya.







