Perjalanan ke arah utara kali ini bukan sekadar memenuhi undangan Lokakarya Mini bulanan Puskesmas Bambalamotu edisi Desember 2025. Ia adalah potongan kecil dari mozaik kerja-kerja kesehatan masyarakat yang dijalani sambil menyeberangi jarak, waktu, dan kadang rasa lelah namun tetap disertai semangat untuk bertumbuh bersama.
Puskesmas Bambalamotu bukan nama asing. Ia adalah satu dari enam Puskesmas lokus Sulbar Sehat, sebuah ikhtiar yang digagas Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat untuk mendorong layanan kesehatan primer yang lebih adaptif, kolaboratif, dan berpihak pada masyarakat. Dan bagi saya, ini adalah kunjungan keenam dalam tahun yang sama. Ada keakraban yang tumbuh dari kunjungan yang berulang.
Ahad siang, saya berangkat dari Mamuju menuju Pasangkayu. Jalan panjang itu ditemani langit yang perlahan berubah warna, hingga akhirnya saya beristirahat semalam di Hotel Nerly. Namun perjalanan ini tak sepenuhnya tentang pekerjaan. Pagi berikutnya, arah kemudi justru berbelok ke Palu.
Perjalanan kali ini saya jalani bersama istri dan sepasang anak yang setia menemani. Bekerja dan traveling bertaut dalam satu rute. Kami menyusuri Donggala, menyesap udara kota Palu, mengisi perut di Rumah Makan Borobudur, lalu cuci mata di Masjid Raya Baitul Khairaat, bangunan megah yang baru beberapa hari lalu diresmikan, berdiri anggun seolah menjadi penanda optimisme baru di kota ini.
Menjelang senja, kami kembali ke Bambalamotu. Malam selasa kami menginap di Edhotel Nexbayu yang berada dalam lingkungan SMKN 1 Bambalamotu, sebuah hotel edukasi yang sederhana namun nyaman. dua kamar disiapkan dengan tarif Rp250.000 per malam, lengkap dengan sarapan pagi. Kasurnya empuk, ruangannya lapang, dan kebersihannya terjaga. Satu-satunya hal yang sedikit unik pintu masuk kamar harus melewati aula sekolah. Namun keramahan dan pelayanan petugas sekolah membuat rasa canggung itu cepat sirna.
Pagi hari, saya menuju Puskesmas Bambalamotu. Undangan tertera pukul 09.00 WITA, dan seperti kebiasaan yang saya jaga, saya tiba sekitar 30 menit lebih awal. Aula masih dalam persiapan. Beberapa kursi belum rapi. Kipas angin dan AC sedang diatur. Di sana, saya melihat Ibu Imelda sigap merapikan kursi, memastikan ruangan siap digunakan. Detail-detail kecil seperti ini sering luput dicatat, padahal di sanalah wajah kerja pelayanan itu sesungguhnya.
Sekitar satu setengah jam kemudian, Lokakarya Mini dimulai. Lagu Indonesia Raya dikumandangkan, membuka ruang refleksi tentang peran kami masing-masing. Saya kemudian diminta menyampaikan sambutan mewakili Dinas Kesehatan Provinsi.
“Ini menjadi ruang kita bersama untuk belajar dan bertumbuh bersama. Sulbar Sehat menjadi media kita untuk berbagi, berkolaborasi, dan saling menguatkan antara Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, dan Dinas Kesehatan Provinsi,” ujar saya.
Sambutan dilanjutkan oleh Ibu Hasna, Kepala Puskesmas Bambalamotu. Tahun ini menandai tahun ke-13 beliau mengemban amanah tersebut sebuah rentang waktu yang panjang untuk sebuah komitmen pelayanan. Dari pemaparan Lokmin, saya mencatat sejumlah poin penting yang mencerminkan tantangan nyata di lapangan mulai dari permintaan Puskesmas untuk rencana Bimtek ILP 2026 khusus Puskesmas lokus, belum jelasnya acuan sasaran CKG karena ketiadaan dasar kebijakan yang kuat, hingga belum adanya indikator kinerja PKP dari Dinas Kesehatan Kabupaten.
Ada pula persoalan teknis yang tak kalah krusial Tim Puskesmas telah mengumpulkan Kartu Keluarga penduduk yang tidak memiliki / tidak aktif JKNnya dari Desa Kalola desa Lokus Pasti padu, penataan ketenagaan Pustu dalam skema ILP, ketiadaan SK PONED karena tenaga terlatih telah berpindah, hingga kebutuhan dukungan untuk inovasi Bajabu, layanan antar-jemput ibu hamil yang menjadi harapan besar Puskesmas ini.
Di tengah diskusi yang padat, saya menyelipkan satu ajakan sederhana namun tulus agar teman-teman Puskesmas juga memberi ruang untuk healing di akhir tahun 2025 atau awal tahun 2026 sebagai bentuk merawat diri sebelum kembali merawat orang lain.
Di sesi terakhir, suasana aula berubah pelan namun pasti. Bukan oleh tepuk tangan yang riuh, melainkan oleh rasa haru yang merambat diam-diam. Dua piala diserahkan sebagai tanda apresiasi dari Pemerintah Kabupaten atas capaian terbaik Puskesmas Bambalamotu dalam pelaksanaan Cek Kesehatan Gratis dan keberhasilan menemukan kasus Tuberkulosis. Piala ini tampak sederhana, namun di baliknya tersimpan jejak langkah panjang kunjungan rumah ke rumah, ajakan yang tak selalu disambut mudah, napas panjang menghadapi penolakan, dan ketekunan yang tak tercatat di grafik. Saat piagam itu berpindah tangan, kami tahu penghargaan ini bukan hanya milik institusi, tetapi milik setiap petugas yang memilih tetap hadir di tengah keterbatasan, demi satu nyawa yang lebih cepat tertolong dan satu harapan yang berhasil diselamatkan.
Bambalamotu, bagi saya, selalu meninggalkan kesan yang sama sederhana, hangat, dan penuh kerja-kerja sunyi yang jarang disorot dan tentunya aroma kopi dan roti-rotinya yang seakan menjadi candu yang wajib untuk dinikmati ketika hadir di Puskesmas ini. Dari perjalanan ini, saya kembali diingatkan bahwa kesehatan masyarakat tak hanya dibangun lewat dokumen, indikator, atau lokakarya. Ia tumbuh dari pertemuan-pertemuan kecil, dari kursi yang dirapikan pagi-pagi, dari perjalanan panjang yang dijalani dengan niat untuk terus belajar dan berkolaborasi.







