
Isu-isu besar yang beliau sampaikan dalam tempo singkat mencerminkan kompleksitas wajah pembangunan Sulawesi Barat hari ini. Kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan, lima simpul utama yang akan menentukan apakah Sulbar sekadar berjalan di tempat atau benar-benar melangkah menuju perubahan.
Satu kalimat yang tak mudah saya dilupakan:
“Jika setiap hari lahir 100 bayi, maka 35 di antaranya berisiko stunting.”
Ini bukan angka di atas kertas. Ini adalah alarm. Sebuah pukulan yang menyadarkan bahwa stunting bukan semata urusan gizi buruk, tapi juga soal ketimpangan sistem dan kehadiran negara yang belum utuh hingga ke dapur-dapur rakyatnya.
Pertumbuhan ekonomi pun bukan hanya soal angka statistik naik turun. Ia adalah tentang seberapa banyak warga yang bisa hidup tanpa was-was pada tanggal tua. Dan ketahanan pangan, di tengah ketidakpastian global, adalah pertahanan terakhir sebelum rakyat menjerit karena harga bahan pokok tak lagi ramah.
Pendidikan, meski angka rata-rata lama sekolah meningkat, tetap menyimpan pekerjaan rumah besar, bagaimana memastikan anak-anak di pelosok Malunda, Kalumpang, Bulo, Tabang dan Salissingan bisa belajar dengan fasilitas yang layak dan guru yang tetap semangat di tengah keterbatasan.
Pak Junda Maulana juga mengingatkan bahwa jangan sampai perencanaan dan penganggaran daerah berjalan keluar jalur dari strategi nasional. Karena pada akhirnya, visi besar bangsa tidak akan terwujud jika satu per satu daerah justru menulis partiturnya sendiri tanpa menyelaraskan nada.
Menurut saya pribadi apel pagi seharusnya bukan hanya formalitas, bukan hanya rutinitas dengan hormat bendera dan laporan barisan. Ia bisa jadi ruang konsolidasi nilai dan arah. Ia bisa jadi titik tolak kesadaran kolektif bahwa kerja birokrasi bukan tentang rutinitas, tapi tentang misi menyelamatkan masa depan.
Namun demikian, sebagaimana yang menjadi harapan banyak pihak dan pernah ada pengaalaman baik akan lebih bermakna jika kegiatan seperti ini dibuka secara virtual atau hybrid. Tidak semua pegawai bisa hadir fisik. Tapi semua punya hak untuk mendapatkan arah dan semangat yang sama. Dari kantor OPD di kota hingga sekolah negeri di pegunungan, dari ASN di sekretariat sampai petugas UPTD di pesisir.
Jika informasi dan semangat bisa menjangkau mereka yang jauh, maka apel pagi bukan hanya milik yang hadir dilapangan, tapi milik seluruh penjuru Sulbar.
Dan sebelum apel ditutup, mari kita renungkan sejenak, Sudahkah kita doakan pemimpin-pemimpin kita dalam sujud-sujud kita?
Karena jabatan adalah beban. Dan tanpa doa rakyat, mereka hanya akan berjalan sendiri, limbung dalam tugas, dan lupa arah dalam kekuasaan.
Sulawesi Barat tidak butuh pemimpin yang sempurna, tapi pemimpin yang didoakan agar tetap kuat memegang amanah.
Dan apel pagi ini, barangkali, adalah janji pagi kita bersama.