Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah perjalanan. Begitu pula dengan “Si Merah”, Brio Matic berwarna maroon yang telah menjadi teman setia keluarga kami sejak 2017. Hari ini, ia kembali masuk bengkel untuk menjalani ritual 6 bulanan, servis berkala untuk kilometer ke-110.000. Angka yang cukup panjang untuk semua kenangan, jalan-jalan, dan waktu yang dihabiskan bersama.
Pagi ini saya membawanya ke Honda Balindo Mamuju, bengkel resmi yang terletak di Jl. Gatot Subroto, Simbuang. Lokasinya cukup strategis, sedikit lebih tinggi dari permukaan jalan, memberi rasa aman dari risiko banjir yang biasa menghantui Bumi Manakarra saat hujan mengguyur deras. Di ruang bagian depan bangunan, mobil-mobil baru berjajar rapi seperti parade, menunggu pemilik baru yang akan membawa mereka ke petualangan pertama.
Namun, bukan hanya mobil yang mendapat perhatian di tempat ini. Saya, sebagai pemilik kendaraan, juga diberi layanan yang tidak kalah ramah. Ruang tunggu di bengkel ini sungguh nyaman. Full AC, bersih, dan modern. Di pojok menghadap ke ruang layanan servis bengkel tersedia berbagai minuman ringan, dari kopi susu hangat hingga teh botol, serta pilihan snack yang bisa diambil secara mandiri. Semua tersedia untuk membuat waktu tunggu tidak terasa membosankan.
Sebuah TV besar 65 inci terpampang di dinding depan. Merek Sharp Aquos. Menayangkan tayangan hiburan yang cukup mengisi kekosongan waktu. Barisan sofa merah berjajar rapi, seperti pasukan tentara yang sedang apel pagi. Di sudut lain, ada empat meja kerja lengkap dengan kursi putih. Saya memilih duduk di sofa merah walaupun kurang ergonomis untuk membuka laptop dan menyelesaikan beberapa pekerjaan.
Sayangnya, di titik ini harapan saya agak pupus. Tak ada colokan listrik di meja-meja putih tersebut. Bagi pekerja jarak jauh seperti saya, atau siapa saja yang masih menggantungkan hidupnya pada daya laptop, ketersediaan sumber listrik adalah kebutuhan dasar, bahkan teman sejati. Satu hal kecil, tapi memberi kesan besar.
Di tengah kenyamanan ini, saya sempat merenung. Mengapa layanan publik yang dikelola pemerintah dengan anggaran yang kadang jauh lebih besar masih tertinggal dalam urusan layanan pelanggan? Mengapa ruang tunggu Puskesmas, rumah sakit, atau kantor pelayanan publik masih identik dengan bangku keras, kipas angin tua, dan wajah-wajah bosan yang menunggu tanpa hiburan?
Padahal, menciptakan ruang tunggu yang manusiawi bukan soal mewah, tapi soal menghargai waktu dan kenyamanan orang lain. Sama seperti cara Balindo Mamuju menghargai saya sebagai pelanggan.
96 Purnama bersama Si Merah mengajarkan bahwa perawatan dan perhatian itu penting. Bukan hanya pada mesin dan kendaraan, tapi juga pada manusia yang menunggu di sisinya. Semoga pelajaran kecil dari ruang tunggu ini bisa menjadi inspirasi besar bagi ruang-ruang pelayanan lainnya di negeri ini.