
Lampu neon tergantung seadanya, memantulkan cahaya putih pucat ke terpal putih yang dijadikan atap tenda. Di bawahnya, kursi dan meja bekas tersusun rapi hasil rakitan gotong royong warga lorong kami. Tak mewah, tapi cukup untuk sekadar duduk bersama, berbagi cerita, dan menepis rasa kantuk di tengah malam.
Pos Kamling ini berdiri di perempatan kecil, strategis tapi sederhana. Sudah tiga pekan terakhir kami bergiliran jaga malam di sini. Delapan orang semua jumlahnya, tapi malam itu hanya enam yang hadir. Dua lagi tidak ada kabar, seperti pekan lalu.
Udara malam terasa lembap. Di sudut tenda, dua kelompok warga duduk melingkar, asyik bermain kartu remi. Tawa kecil dan canda ringan terdengar bersahutan, mencairkan malam yang tadinya hening. Saya sendiri hanya duduk memperhatikan, menikmati suasana yang jarang saya temui di siang hari kehangatan tanpa formalitas, tanpa sekat.
Di balik kesederhanaannya, Pos Kamling ini adalah simbol kecil tentang bagaimana masyarakat menjaga dirinya sendiri. Ia bukan sekadar tempat ronda, tapi titik temu tempat saling mengenal, berbagi kabar, dan menguatkan rasa memiliki terhadap lingkungan.
“Ini basis pertama, basis terdepan,” kata seorang warga saat kami tugas jaga pertama kali di pos ini . “Tugas utamanya melayani publik dan menjaga stabilitas keamanan, dengan cara swakarsa dari masyarakat, untuk masyarakat.”
Pernyataannya sederhana, tapi dalam. Karena di sini, kami belajar arti menjaga bukan hanya dari maling atau gangguan malam, tapi juga dari sepi, dari renggangnya hubungan antarwarga yang kini mulai sering terjadi di kota kecil kami.
Seperti malam Selasa lalu, Haris Lawang seorang ASN di Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat jadi pusat cerita di Pos Kamling. Lelaki asal Pulau Alor itu pandai bercerita, dengan gaya khasnya yang hangat dan bersahaja.
Kisah perjalanannya dari Alor hingga ke Mamuju terdengar seperti serial film yang disusun dalam beberapa episode. Setiap potongan kisahnya menghadirkan rasa kagum, lucu, dan kadang menyentuh hati. Tentang masa kecilnya di pulau kecil yang jauh, perjalanan merantau, hingga akhirnya menemukan rumah di tanah Mandar ini.
Kami mendengarkan dengan saksama. Sesekali tertawa kecil, kadang terdiam ketika ia menceritakan bagian yang berat. Cerita Pak Haris membuat malam terasa lebih hidup seperti api kecil yang menghangatkan kami di bawah tenda biru itu.
Di sela-sela cerita, kami bergantian keliling lorong untuk memastikan keamanan. Malam itu kami bertiga berkeliling kompleks yang memiliki tiga cabang jalan di dalamnya. Sunyi, tapi aman. Lampu-lampu dalam rumah sebagian sudah padam, namun lampu teras tetap hangat dengan nyalanya. Hanya suara jangkrik dan gesekan daun yang terdengar.
Tempat saya tinggal ini memang salah satu lokasi yang sangat direkomendasikan bagi mereka yang mencari ketenangan. Tak jauh dari pusat pemerintahan, tapi malam harinya begitu sunyi dan damai. Kicauan hewan malam menjadi musik alami pengantar tidur yang menenangkan.
Malam itu, di bawah cahaya neon, saya melihat sesuatu yang lebih besar dari sekadar ronda yaitu kebersamaan yang lahir dari kepedulian kecil. Di Pos Kamling lorong kami di RT 4 Tambayako kehidupan sosial itu masih berdenyut hangat, meski dengan terpal seadanya.









