Bayangkan sebuah stadion besar berkapasitas 63 ribu penonton. Kini bayangkan seluruh kursinya terisi oleh mereka yang terdiagnosis HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2024. Itu bukan ilustrasi fiktif, melainkan kenyataan yang terungkap dalam laporan Indonesia Drug Report 2025.
Sebanyak 63.469 orang terinfeksi HIV & AIDS. Ini bukan sekadar angka, tapi peringatan keras bahwa epidemi ini masih jauh dari selesai.
Jika dirinci berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 45.404 penderita adalah laki-laki, ini hampir dua setengah kali lipat dibandingkan perempuan yang berjumlah 18.065 orang. Data ini mengkonfirmasi apa yang selama ini menjadi isu senyap bahwa seks tidak aman, terutama antar sesama jenis, menjadi jalur penularan dominan.
Berdasarkan faktor risiko, kelompok homoseksual mencatat 20.942 kasus, sementara hubungan heteroseksual menyumbang 10.348 kasus. Ini menyoroti urgensi edukasi seks yang inklusif, tidak menghakimi, dan berbasis bukti. Kondisi ini sesuatu yang masih sangat langka dalam kebijakan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Lima provinsi dengan kasus terbanyak semuanya berada di Pulau Jawa, dipimpin oleh Jawa Timur (10.435 kasus), lalu Jawa Barat (9.871) dan Jawa Tengah (6.148). Dominasi ini erat kaitannya dengan kepadatan penduduk, arus urbanisasi tinggi, serta mobilitas seksual yang sulit dipantau. DKI Jakarta sendiri menyumbang 5.021 kasus, mempertegas tantangan urban dalam penanggulangan HIV.
Namun, masalah terbesar bukan pada jumlah kasus, tapi pada stigma. Banyak ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) masih menghadapi diskriminasi, baik di tempat kerja, fasilitas kesehatan, bahkan di dalam keluarga sendiri. Padahal, HIV adalah kondisi medis yang bisa dikelola, bukan aib moral.
Penularan HIV tidak hanya terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman, tapi juga melalui alat suntik tidak steril, penularan dari ibu ke anak , dan transfusi darah. Namun, hanya 299 kasus dilaporkan berasal dari pengguna narkoba suntik. Angka yang bisa jadi lebih besar, namun teredam karena keterbatasan deteksi dan pelaporan.
Kasus perinatal mencapai 2.530, artinya ribuan bayi lahir dari ibu yang tak tahu dirinya terinfeksi, atau terlambat mendapat pengobatan. Ini menunjukkan lemahnya deteksi dini di layanan kesehatan ibu dan anak.
Ketika 29.350 kasus dikategorikan dalam “lain-lain”, ini menandakan minimnya pelacakan rute penularan yang akurat. Padahal, tanpa data yang jelas, strategi pencegahan menjadi sulit disusun.
Pemerintah perlu menghapus pendekatan moralistik, dan menggantikannya dengan pendekatan berbasis kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia. Deteksi dini, edukasi seks yang ilmiah, serta layanan ARV yang mudah diakses adalah kunci. Lebih dari itu, penting ada dukungan komunitas dan regulasi antistigma yang tegas.
63.469 jiwa bukan angka mati. Mereka adalah manusia yang menanti kepedulian, bukan penghakiman. Mereka butuh akses, bukan stigma. Karena sejatinya, HIV bukan hanya penyakit, melainkan cermin bagaimana sebuah negara memperlakukan yang paling rentan.
Selama HIV dan AIDS hanya dibicarakan , Indonesia akan terus mencatat angka-angka baru. Sementara nyawa yang hilang perlahan dilupakan.
Sumber: Kementerian Kesehatan RI – Indonesia Drug Report 2025







