Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam dari Kalumpang, Saya menghentikan dan parkir kendaraan di sudut lapangan desa Karama. Ini titik terakhir yang bisa dijangkau roda empat sebelum menuju Puskesmas Karama. Dari sana, kami berjalan kaki.
Langkah demi langkah menyusuri jalan sempit yang becek, dengan lebar tak lebih dari 1,5 meter. Rumput liar tumbuh bebas di beberapa titik, seolah menjadi saksi bisu betapa akses menuju fasilitas kesehatan ini belum menjadi prioritas pembangunan. Di hadapan kami terbentang jembatan gantung, satu-satunya penghubung yang tersisa. Sayangnya, jembatan ini sudah mulai reot. Beberapa keping kayu berlubang, dan ayunannya terasa kuat saat kami menapakkan kaki. Bukan sekadar rasa takut yang muncul, tapi juga rasa prihatin. Perjalanan menuju Puskesmas kurang lebih 3-5 menit jalan kaki, tergantung kecepatan melangkah tentunya.
Ini adalah jalan yang setiap hari dilalui warga yang sehat maupun yang sakit demi mendapatkan pelayanan dasar yaitu hak atas kesehatan.
Begitu tiba di halaman Puskesmas, kami mendapati beberapa warga duduk di pelataran. Beberapa lainnya sedang diperiksa oleh petugas di ruang depan, tepat di luar ruang rekam medis. Mereka datang dari kampung-kampung sekitar, dengan harapan dan keluhan yang mereka bawa dalam tubuh dan hati.
Pelayanan tetap berjalan, meski kondisi bangunan mulai menunjukkan tanda-tanda rapuh. Dinding yang mengelupas, langit-langit yang rusak di beberapa titik, dan aroma lembab yang pelan-pelan merayap. Gedung ini berdiri bukan hanya sebagai tempat pelayanan kesehatan, tapi juga simbol dari semangat petugas yang bertahan, walau fasilitas tak memadai.
Saya sempat terdiam sejenak.
Sebagai seseorang yang datang dalam kondisi sehat dan bertenaga pun, saya merasa kesulitan melewati jalan menuju puskesmas ini. Lantas bagaimana dengan masyarakat yang datang dalam kondisi sakit? Bagaimana anak-anak, ibu hamil, atau para lansia yang harus melewati jembatan reot dan jalan becek hanya untuk mendapatkan pemeriksaan tekanan darah atau sekadar obat batuk?
Ini Bukan Keluhan. Ini Panggilan.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk mengingatkan bahwa di balik deretan angka pembangunan dan capaian statistik, ada tempat-tempat seperti Karama yang masih menunggu perhatian lebih serius.
Kita tidak bisa bicara soal transformasi digital kesehatan jika jalan menuju puskesmas saja tak bisa dilalui dengan aman. Kita tidak bisa berbicara soal peningkatan kualitas layanan jika gedung pelayanannya sendiri tidak memberikan kenyamanan. Kita tidak bisa bicara tentang keadilan sosial jika rakyat di pelosok harus bertaruh nyawa meniti jembatan rusak hanya untuk bertemu tenaga kesehatan.
Kami dan mereka yang pernah menapaki becek tanah Karama, yang pernah memegang tangan pasien di bawah atap bocor, yang pernah berdiskusi dalam ruangan pengap tahu betapa berat perjuangan tenaga kesehatan di wilayah terpencil.
Sebagai bagian kecil dari Pemerintah di Provinsi ini, saya merasa masih sangat banyak amanah yang belum mampu dikerjakan secara tepat, salah satunya Puskesmas Karama ini.
Suara-suara sunyi dari pelosok seperti Karama ini butuh untuk didengarkan lebih dekat, perlu pendekatan khusus bagi wilayah dengan kondisi yang biasa kita sebut daerah “TERPENCIL”.
Jalan menuju puskesmas bukan sekadar infrastruktur. Ia adalah jalan menuju harapan.Gedung layanan bukan hanya tempat kerja. Ia adalah tempat bergantung hidup masyarakat.
Bila kita sepakat bahwa kesehatan adalah hak, maka memastikan akses dan fasilitas yang layak adalah bentuk nyata dari komitmen terhadap keadilan.
Puskesmas Karama mungkin jauh dari pusat pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Mamuju. Tapi warga yang berobat di sana punya KTP yang sama dengan kita. Punya hak suara yang sama dalam pemilu. Dan yang lebih penting punya hak atas pelayanan yang manusiawi.
Kunjungan kali ini menorehkan kembali pesan lama yang sering terlupakan bahwa membangun negeri ini bukan hanya soal gedung-gedung tinggi di kota, tapi juga soal memastikan jembatan reot di Karama diganti sebelum benar-benar putus.
Karena ketika jalan itu diperbaiki, bukan hanya tubuh warga yang akan terbantutapi juga martabat mereka sebagai bagian dari bangsa ini akan terasa lebih utuh.
—
Catatan perjalanan ini ditulis untuk menjadi bahan evaluasi bagi kami dan untuk menyapa hati nurani. Karena dari pelosok Karama – Kalumpang, saya seolah – olah mendengar suara sunyi itu terus memanggil “Jangan lupakan kami.”