Hujan gerimis menyapa lembut sore ini, saya menepi di sebuah kafe berlantai dua dengan tampilan dinding terbuka, Cafe Aiman yang terletak beberapa langkah kaki dari jembatan Mambi, Mamasa. Secangkir kopi hitam mengepul pelan, aromanya menari bersama udara lembap pegunungan. Di sampingnya, sepiring pisang goreng gurih yang baru diangkat dari wajan hangat, renyah, dan pas untuk dinikmati dalam balutan suasana seperti ini.
Pandangan saya menerobos ke depan dengan bentangan panorama yang nyaris mustahil untuk tidak membuat hati luluh. Sawah hijau membentang luas, berkilau disapu gerimis. Di sisi lain, aliran sungai deras mengalir kencang, mengiringi irama alam yang tenang. Jembatan Mambi berdiri kokoh, seolah menjadi penghubung bukan hanya antara dua sisi sungai, tapi juga dua ruang waktu masa lalu dan masa kini.
Dan di kejauhan, gunung-gunung hijau menjulang, memeluk langit dengan penuh percaya diri. Rumah-rumah penduduk berjajar rapi di sepanjang jalan, menghadirkan kehangatan khas kampung halaman. Sejenak, saya terdiam. Landscape ini persis seperti coretan gambar yang dulu sering saya lukis di masa kecil sawah, gunung, rumah, dan jalan kecil. Sebuah nostalgia yang datang tanpa undangan.
Mambi memang punya pesona yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ada kerinduan yang muncul bahkan sebelum kita pergi. Kerinduan untuk kembali, berkunjung, atau sekadar menyesap kopi sambil menatap hujan dari balik jendela.
Perjalanan dari Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, ke pusat Kecamatan Mambi kini memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam, tergantung semangat dan laju kendaraan. Jalanannya kini mulus, meliuk-liuk di antara punggung pegunungan yang memanjakan mata namun juga menantang kewaspadaan.
Tak hanya suasana, Mambi dan sekitarnya juga menyimpan destinasi wisata budaya dan alam yang layak disinggahi. Ada Rumah Adat Lantang Kada Nene Mambi yang sarat nilai sejarah dan kearifan lokal, Masjid Raya Mambi yang megah dan sejuk, serta Air Terjun Sambabo di Kecamatan Bambang—yang menjanjikan petualangan alami di balik derasnya air yang jatuh dari ketinggian.
Di Mambi, waktu seolah melambat. Di antara gemericik sungai dan semerbak kopi panas, saya merasa seperti pulang meski ini bukan kampung halaman saya. Tapi seperti yang sering saya dengar, tempat yang membuatmu merasa damai tanpa alasan adalah tempat yang juga pantas disebut rumah.
—
Desa Bujung Manurung di Akhir Bulan Mei Tahun 2025