Di sebuah sudut tenang di Sapo Kopi Mamuju Tengah, pada 23 Mei 2025 lalu, sejumlah pihak berkumpul membahas satu hal yang tak lagi bisa ditunda: nasib balita yang tak tersentuh timbangan dan pengukuran. Di tengah statistik yang memprihatinkan, muncul keprihatinan: lebih dari setengah balita di Mamuju Tengah belum ditimbang. Tepatnya, dari 12.097 balita, hanya 5.740 yang ditimbang. Artinya, 6.357 balita tidak ditimbang. Angka yang mencolok, dan mestinya menggugah.
Di tengah program nasional penurunan stunting yang begitu masif, data ini seperti alarm. Seakan memperlihatkan jarak antara kebijakan dan kenyataan di lapangan. Bahkan jika ditilik lebih dalam, persoalan ini bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang sistem yang harus lebih peduli dan menyentuh masyarakat dari pintu ke pintu.
Potret Puskesmas: Dari Topoyo ke Babana
Puskesmas Topoyo mencatat lebih dari 2.032 balita belum diukur. Di wilayah Babana, kondisinya tak jauh berbeda. Tercatat 764 balita belum diukur. Jumlah itu adalah anak-anak yang belum terpetakan status gizinya, yang dalam waktu bersamaan bisa menjadi bagian dari statistik stunting tanpa pernah terdata.
Masalahnya bukan hanya soal akses, tapi juga motivasi dan sistem yang berjalan setengah hati. Salah satu indikatornya adalah capaian Pelaksanaan Pemantauan Kesehatan Gizi (PKG) di Mamuju Tengah yang hanya 0,27%. Angka ini nyaris tak bergerak, dan mencerminkan lemahnya pelaksanaan pemantauan tumbuh kembang anak secara berkala.
Di Balik Angka: Suara dari Desa
Sekretaris Desa Topoyo secara terbuka mengakui bahwa perlu dilakukan sosialisasi CKG (Cakupan Kesehatan Gizi) di wilayahnya. Ia menyebut bahwa insentif yang diberikan untuk kader posyandu hanya Rp150.000 per bulan. Terlalu kecil untuk pekerjaan yang menuntut dedikasi tinggi.
Berbeda dengan Topoyo, Kepala Desa Tumbu mencatat tren yang lebih positif. Di desanya, tingkat kehadiran balita di posyandu tergolong bagus. Setiap bulan, pihak desa menyediakan dorprize sebagai pemantik minat masyarakat. Bahkan, kader posyandu diminta melakukan kunjungan rumah—satu metode yang lebih personal dan berdampak.
Namun, ada catatan kritis: dari hasil asistensi, jumlah kader justru diminta dikurangi menjadi maksimal lima orang per desa. Sebuah langkah yang kontraproduktif jika melihat tantangan geografis dan jumlah balita yang harus dipantau.
Menuju Solusi atau Sekadar Wacana?
Diskusi ini tak hanya menyajikan masalah, tetapi juga memunculkan harapan. Ada rencana tindak lanjut berupa pendampingan intensif oleh puskesmas kepada kader di Desa Tumbu dan Topoyo, agar pelaksanaan ILP (Intervensi Layanan Primer) bisa berjalan. Kontak Fatmasari, koordinator dari Puskesmas, dibagikan sebagai bagian dari komitmen.
Evaluasi lanjutan direncanakan pada akhir Juni 2025, melibatkan pemerintah provinsi, kabupaten, dan puskesmas. Tapi, semua itu akan percuma jika tak diiringi dengan perubahan nyata di lapangan: peningkatan anggaran kader, sistem pelaporan yang cepat, dan apresiasi yang layak bagi garda terdepan kesehatan anak.
Menanti Gerak Nyata
Statistik bisa membosankan, kecuali jika di baliknya kita menyadari bahwa setiap angka adalah nyawa, dan setiap persentase adalah masa depan. Anak-anak yang tidak ditimbang hari ini, bisa menjadi bagian dari angka stunting yang kita sesali di masa depan. Dan itu bukan hanya kegagalan data, tapi kegagalan bersama.
Mamuju Tengah punya pilihan. Tetap di jalur biasa, atau mulai menyentuh yang tak terdata.