Pagi Sabtu, Mamuju baru saja benar-benar terbangun. Kabut tipis masih menggantung. Di antara aroma Pisang goreng dan kopi susu pagi, saya menyalakan mesin mobil berwarna merah maroon teman perjalanan setia yang akan membawa saya menempuh jarak lebih dari 200 kilometer menuju utara. Tujuan kali ini Puskesmas Sarudu 2, Kabupaten Pasangkayu. Dulu Namanya Puskesmas Bulumario.
Perjalanan sejauh 215 kilometer mungkin terdengar biasa bagi mereka yang terbiasa berpindah antar kota di Pulau Jawa. Tapi di Sulawesi Barat, setiap kilometer punya cerita. Jalanan yang menurun diapit tebing hijau, aspal yang di beberapa bagian menyisakan luka-luka berlubang, dan hujan yang bisa datang kapan saja tanpa tanda-tanda.
Sebelum mencapai Sarudu, saya sempat singgah di Puskesmas Dapurang. Beberapa hari sebelumnya, server mereka tersambar petir. Saya turun, menyapa petugas, lalu mengangkat CPU yang rusak untuk dibawa ke Mamuju. Beratnya bukan hanya karena besi dan kabel, tapi karena di dalamnya tersimpan data dan harapan pelayanan kesehatan yang sempat terhenti. Di sini saya bercerita singkat dengan Sri, Kepala Puskesmas dan Eks kepala Puskesmas Dapurang.
Selesai di Dapurang, perjalanan berlanjut. Mobil berguncang ringan ketika roda melintasi aspal yang mulai mengelupas. Di simpang tiga Tanamoni, papan kecil menunjukkan arah menuju Puskesmas Sarudu 2. Dari jalan Trans Sulawesi, jaraknya sekitar enam kilometer. Tapi enam kilometer ini bukan angka yang sederhana. Jalanan masuk sempit, beberapa bagian berlubang dan tertutup tanah. Saya menurunkan kecepatan, membiarkan si merah maroon melaju pelan, seolah ikut berhati-hati menjaga misi hari itu.
Ini adalah kunjungan kedua saya ke Puskesmas tahun ini. Beberapa bulan lalu, saya datang untuk mengambil server pengadaan lama, yang kemudian kami install ulang di Mamuju. Kali ini, saya datang bukan untuk mengambil tetapi untuk memberi, membantu teman-teman di Sarudu 2 mengoperasikan Rekam Medis Elektronik (RME) dengan menggunakan aplikasi Khanza, sistem open source yang dikembangkan oleh Yayasan SIMRS Khanza Indonesia.
Kepala Puskesmas, Pak Mustakim, menyambut dengan hangat. Di tengah kesibukan wilayah transmigrasi yang disebut warga sebagai SP1, suasana sekitar cukup ramai. Sarudu 2 mungkin berstatus desa, tapi denyut kehidupannya seperti pusat kecamatan kecil.
Setelah memastikan perangkat siap, kami memulai pelatihan pada pukul 15.00 WITA. Menu demi menu kami pelajari Bersama mulai dari input data umum, registrasi pasien, rawat jalan, farmasi, aplikasi pemanggil antrian pasien hingga fitur integrasi SATUSEHAT, platform nasional yang menghubungkan data kesehatan seluruh Indonesia.
Waktu berjalan tanpa terasa. Azan magrib memanggil, lalu kami berhenti sejenak untuk salat dan makan malam. Tapi setelah isya, kami kembali ke meja kerja. Pukul 23.30, hanya suara beberapa pengunjung pasien dan klik-klik mouse yang tersisa. Saya dan Pak Madhur dari Dinas Kominfo Provinsi Sulbar menyelesaikan hampir semua konfigurasi, kecuali satu, integrasi SATUSEHAT yang masih belum berhasil.
Pak Mustakim lalu mengantar saya ke tempat menginap sebuah rumah kost yang cukup nyaman. “Ini kost eksklusif kalau di kota,” batin saya sambil tersenyum, merasa beruntung masih mendapat kasur empuk di tengah perjalanan panjang.
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul enam, saya sudah kembali ke Puskesmas. Sebotol air putih menemani saya menyempurnakan setting SATUSEHAT. Kali ini berhasil. Sistem berjalan baik, diagnosa muncul.
Sebelumnya, Puskesmas Sarudu 2 sempat menggunakan aplikasi RME yang dikembangkan oleh vendor lokal sebelum akhirnya beralih ke Khanza. Proses adaptasi memang tidak mudah, tapi semangat mereka luar biasa.
Puskesmas ini memiliki sekitar 40 tenaga kesehatan, ada dua dokter umum dan satu dokter gigi. Wilayah kerja mereka mencakup Desa Bulumario dan Desa Patika, dengan masyarakat yang terus tumbuh dan berharap akan pelayanan kesehatan yang lebih cepat dan akurat.
Mereka hidup dengan visi “Terwujudnya masyarakat sehat, pelayanan yang berkualitas, dan sukses dalam pemberdayaan di wilayah kerja Puskesmas Sarudu 2.”
Dan berpegang pada motto sederhana tapi penuh makna Mario Pole, Mario Lisu yang terjemahannya pasien nyaman saat datang, dan puas ketika pulang.
Di balik kabel, jaringan, dan kode program, sesungguhnya ada satu hal yang lebih penting yaitu rasa kemanusiaan. Transformasi teknologi kesehatan bukan sekadar memindahkan kertas ke layar, tapi tentang bagaimana data pasien bisa menyelamatkan nyawa lebih cepat, bagaimana petugas puskesmas tak lagi kewalahan, dan bagaimana belajar untuk menjadi lebih efisien di bidang yang paling menyentuh kehidupan yakni kesehatan.
Kini, Indonesia punya 1.116 penyedia sistem RME yang terintegrasi dengan SATUSEHAT. Ada yang berbayar, ada yang gratis, dan ada pula yang dikembangkan mandiri oleh fasilitas kesehatan. Tapi apa pun platformnya, semangatnya satu yaitu menjadikan pelayanan kesehatan lebih manusiawi dan lebih cerdas.
Bagi saya, perjalanan ke Sarudu 2 bukan sekadar perjalanan kerja. Ia adalah pengingat bahwa perubahan besar sering dimulai dari tempat kecil, dari desa-desa yang jauh dari pusat kota, dari tenaga kesehatan yang bekerja hingga larut malam demi memastikan data pasien tersimpan rapi.
Dan mungkin, di balik jalan berlubang dan server yang pernah tersambar petir itu, kita sedang menyaksikan bentuk paling nyata dari transformasi teknologi kesehatan di Sulawesi Barat pelan, tapi pasti dan sepenuh hati.








