Pagi belum menampakkan wajahnya saat saya meninggalkan Hotel Kartika One, Hotel bintang tiga yang saya tempati istirahat selama 3 hari terakhir di perbatasan Jakarta dan Depok. Jam menunjukkan pukul 03.50 WIB. Langit masih hitam pekat, jalanan masih lengang. Di luar hotel, sebuah mobil Grab menunggu, mengantarkan saya ke Bandara Soekarno-Hatta.
Namun, pagi itu tidak sepenuhnya biasa. Mobil yang seharusnya saya tumpangi ternyata telah dinaiki oleh penumpang lain menuju tujuan yang sama, bandara. Entah kesalahan sistem atau kelengahan komunikasi, kami akhirnya bertukar kendaraan sekitar satu kilometer dari hotel, di sebuah tikungan sepi yang hanya diterangi lampu jalan.
Pengemudi saya selanjutnya bernama Andi Ashar. Seorang lelaki muda yang ramah, membuka pembicaraan tanpa diminta. Ketika saya tanya asalnya, ia menjawab: “Makassar, Pak.” Tapi kemudian ia menambahkan, “Saya belum pernah ke Sulawesi.”
Saya terdiam sejenak. Lelaki ini membawa warisan tanah kelahiran bapaknya, tetapi belum sempat menjejakkan kaki di tanah leluhurnya sendiri. Ia lahir dan besar di Jakarta, dan sang ayah telah berpulang puluhan tahun lalu. Cerita itu menyelinap masuk ke benak saya seperti udara pagi yang sejuk, tapi menyimpan rasa hening.
Sesampainya di bandara, saya langsung menunaikan salat Subuh 2 rakaat. Setelah itu, sejenak saya menikmati segelas kopi gula aren hangat dan semangkok Soto Ayam Kampung dari Gerai Soto Nikmat, yang letaknya tidak jauh dari Gate 12. Bukan cuma untuk mengisi perut, tapi juga untuk menyambut pagi yang baru, yang pelan-pelan menyingkapkan cahayanya di balik kaca terminal.
Di boarding pass saya tertulis GA-610, Garuda Indonesia dengan pesawat B737-800 tujuan Makassar. Boarding dimulai pukul 07.10, dan hanya lima menit berselang, kami sudah diminta naik ke pesawat. Tepat waktu. Sesuatu yang masih menjadi kemewahan logistik di negeri ini.
Kabin Garuda menyambut dengan senyum dan ketenangan. Kursi-kursi baru berwarna coklat muda tampak lebih mewah dari biasanya. Di kantong kursi, saya mengambil majalah Colours, edisi Juni 2025. Judul sampulnya bergambar keluarga kecil dengan latar belakang pesawat Garuda. Seolah menyambut perjalanan saya ke kampung halaman.
Garuda memang tidak hanya soal layanan, tapi tentang pengalaman. Ada rasa “diantar pulang” yang tak bisa dijelaskan oleh angka rating atau review daring. Apalagi bagi kami yang hidup jauh dari pusat, penerbangan bukan cuma moda, tapi jembatan antara rasa, kenangan, dan harapan.
Di atas ketinggian, saya teringat kembali wajah Andi Ashar. Lelaki yang belum pernah pulang ke Sulawesi, tapi setiap harinya mengantar orang-orang ke arah sana. Di satu sisi ia membawa takdir, di sisi lain ia meninggalkan sebagian dirinya yang belum sempat kembali.
Semoga Garuda tetap terbang tinggi. Tetap jadi jembatan bagi mereka yang ingin pulang, dan mereka yang sedang mencari arti dari kata “asal-usul”.