Senin, 9 Juni 2014.. Hari dimana saya dan teman-teman Relawan bersama-sama menuju sekolah tempat kami mengajar yang terletak di pulau seberang bernama Karampuang. Sampai disana, kami disambut meriah oleh teriakan anak-anak yang begitu semangat. Wah,,terbayang sudah akan dapat kelas yg seru nih nantinya… tapi, tunggu dulu!! Ternyata itu diluar dugaan. Sebelum saya memasuki kelas, ternyata guru disana sempat memberikan “wejangan” kepada anak-anak untuk tetap tenang dalam kelas. Dan alhasil,, suasana kelas benar-benar tenang.. tenaaaaaanggg bangeettt, kelewat tenang malah. Mungkin hanya suara jangkrik dan hewan-hewan di hutan belakang sekolah saja yg menjadi backsound kelas saat itu, “..kriikk, kriiikk, kriikk…”
Saya yang pada dasarnya suka dengan suasana kelas yg ramai (tapi tetap terkendali tentunya), tidak bisa membiarkan peristiwa ini terjadi (alaaahhh…). Awalnya saya grogi dan was-was, khawatir kalau-kalau apa yang saya sampaikan tidak dipahami oleh anak-anak, tapi rasa grogi dan was-was itu harus saya hilangkan saat itu juga melihat kondisi kelas yang begitu tenang alias tak ada respon sama sekali dari anak-anak.
Mulailah saya mencoba mengajak ketua kelasnya untuk berdiri di depan kelas. Pada saat itu, kelas pertama yang saya kunjungi adalah siswa kelas 5. Saya meminta kepada anak itu untuk menyebutkan nama dan cita-citanya di depan teman-temannya.
“Nama saya Angga. Saya bercita-cita ingin menjadi pemain bulu tangkis”.
“kenapa ingin menjadi pemain bulu tangkis?” tanyaku
“karena saya ingin membanggakan orang tua dan mewakili sulbar ke tingkat nasional,” jawabnya.
Kembali saya menanyakan kepada anak-anak itu tentang cita-citanya. Untunglah mereka mulai merespon pertanyaan saya. Ada yang ingin menjadi guru, dokter, polisi, polwan, hingga nelayan. Mulailah saya menceritakan profesi saya sebagai pegawai negeri, pengusaha, dan calon reporter (maaf, ini efek kebanyakan cita-cita sewaktu kecil, hehe..) kemudian memberikan semangat kepada mereka untuk terus mengejar cita-citanya.
Lain halnya ketika saya harus menghadapi anak kelas 3. Saya bingung bagaimana menjelaskan kepada mereka dengan bahasa yang lebih sederhana. Untuk menarik perhatian mereka, awalnya saya mengajak mereka untuk bernyanyi bersama. Yah, walau suara agak cempreng, setidaknya itu berhasil mencairkan suasana,, heheh…
Saya kemudian mengajarkan mereka bagaimana mengambil foto menggunakan kamera dan mereka antusias untuk mencobanya, bahkan berebutan… Aahh,, beginilah suasana kelas yang saya suka, penuh semangat untuk belajar. Tapi, ibu gurunya tiba-tiba datang dan menyuruh mereka semua untuk duduk kembali ke tempatnya. Spontan anak-anak langsung duduk diam dan rapi di kelas. Saat saya bertanya,”Ada lagi yang ingin mencoba?” mereka diam bahkan saling melirik teman sebangkunya. Ternyata mereka agak takut dengan ibu gurunya. But everything is gonna be alright. Setelah gurunya pergi, kami kembali bersenang-senang, heheh… (Semoga saat itu saya tidak mengajarkan hal yang salah kepada mereka, hehe…).
Di kelas 4, respon yang saya dapat juga sedikit berbeda. Saya mencoba metode pertama dengan menanyakan cita-cita mereka dan mereka pun menjawab. Alhamdulillah, mereka merespon. Dan rata-rata cita-cita mereka sama dengan kelas sebelumnya, ada yang ingin jadi guru, dokter, tentara, dan polisi. Kemudian, mulailah saya menceritakan profesi saya sebagai reporter. Untuk kembali mencairkan suasana, saya mengajak mereka untuk berakting, mencoba menjadi reporter di lapangan. Saya panggil tiga siswa secara bergantian untuk mewawancarai temannya mengenai apa yang mereka cita-citakan. Lucu tapi seruuuuu…
Setelah itu, closing ceremony pun kami lakukan dengan mengumpulkan anak-anak di lapangan. Setelah mendapat pengarahan dari salah seorang teman Relawan, anak-anak mulai menempelkan kertas yang bertuliskan nama dan cita-cita mereka. Kami lalu menempelnya di kelas mereka dengan harapan ketika mereka memasuki kelas, mereka akan membaca dan itu akan mengingatkan mereka bahwa mereka punya cita-cita yang harus diwujudkan sehingga mereka bersemangat dalam menuntut ilmu.
Itulah sepenggal pengalaman yang saya alami selama menjadi relawan pengajar. Ternyata mengajar di depan anak-anak itu susah yah, bahkan meskipun hanya bercerita mengenai profesi kita, kita perlu sabar dan perlu teknik khusus untuk menarik perhatian mereka agar tetap focus dan merespon pembicaraan kita. Salut buat guru-guru di Indonesia…
Dan walau tak ada satupun diantara mereka yang ingin berprofesi seperti saya,, saya tetap berharap semoga mereka terinspirasi dan termotivasi untuk melanjutkan pendidikan untuk meraih cita-citanya. Semoga mereka tetep semangat belajarnya hingga cita-cita mereka terwujud kelak, aamiin …