Sudah lebih dari satu abad sejak Robert Koch menemukan basil penyebab tuberkulosis (TBC). Namun, hingga hari ini, penyakit ini masih menjadi mimpi buruk global terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia dan di Provinsi Sulawesi Barat, bayang-bayang TBC masih nyata, tebal, dan menyebar diam-diam..
Di paruh pertama tahun 2025, lebih dari 5.000 warga Sulbar diperkirakan menderita TBC. Namun, hanya 1.963 yang berhasil ditemukan dan diobati. Itu artinya, enam dari sepuluh penderita belum tersentuh layanan kesehatan.
Realita Penemuan Kasus yang Masih Jauh dari Target
Dengan target treatment coverage 45%, hanya Kabupaten Mamuju yang mampu melampaui angka itu, yakni 55%. Mamasa yang menjadi wilayah dengan capaian terendah hanya mencapai 12%. Sebuah alarm keras bahwa masih banyak masyarakat di pedalaman yang belum terjangkau deteksi dini TBC.
Padahal, deteksi dini adalah gerbang utama memutus rantai penularan.
Di sisi lain, enrollment rate atau jumlah pasien yang benar-benar memulai pengobatan dari mereka yang terdiagnosis cukup menggembirakan dengan capaian 90,8% di seluruh provinsi. Namun, keberhasilan pengobatan tidak semudah dimulai. Angka kesembuhan hanya 34%, jauh di bawah target nasional sebesar 90%.
Sebagian besar pasien memang menyelesaikan pengobatan, tapi tak kembali untuk diperiksa ulang, akibat terbatasnya fasilitas laboratorium dan mikroskop rusak di banyak Puskesmas. Masalah teknis yang berdampak klinis.
Situasi TBC di Sulawesi Barat juga pada anak-anak juga perlu mendapatkan perhatian serius. Dari target 368 kasus anak yang harus ditemukan, hanya 86 yang teridentifikasi. Mamasa bahkan nihil kasus, bukan karena aman, tapi karena gagal mendeteksi.
Padahal, TBC pada anak adalah indikator penting dari penyebaran aktif di rumah dan lingkungan. Anak-anak tak tertular dari angin tapu kemungkunan mereka terpapar dari orang dewasa di dekat mereka yang belum diobati.
TBC RO, DM, HIV adalah Segitiga Tantangan Baru
Tantangan TBC kini bukan hanya penyakit itu sendiri. Pasien-pasien dengan TBC resisten obat (RO), penderita diabetes (DM), dan pengidap HIV-AIDS memperumit peta pertempuran. Hingga Juni 2025, hanya 12 dari 128 estimasi kasus TBC RO yang ditemukan, ini masih teramat jauh dari target 85%.
Dari 1.746 pasien TBC, sekitar 11% juga menderita diabetes. Namun hanya 57% dari mereka yang mendapat terapi DM. Untuk kasus TBC-HIV, dari 23 pasien positif, hanya 7 yang mengakses ARV. Artinya, 70% pasien TBC-HIV dibiarkan tanpa pendampingan pengobatan HIV yang memadai.
Kondisi Putus Berobat Bukan Sekadar Angka
Di Mamuju, satu dari sepuluh pasien putus pengobatan. Mayoritas karena efek samping obat yang tidak tertangani dan kurangnya pendampingan psikososial. Total 95 pasien di Sulbar menghentikan pengobatan sebelum waktunya. Ini bukan hanya kegagalan administratif tapisituasi ini berarti nyawa yang terancam, dan potensi penularan yang lebih luas.
Sektor Swasta yang Belum Terlibat Penuh
Klinik swasta dan TPMD di Sulbar belum sepenuhnya terlibat aktif dalam penemuan dan pelaporan kasus. Dari belasan klinik, hanya segelintir yang melaporkan kasus terduga dan positif. Padahal, strategi Public-Private Mix (PPM) adalah kunci jika ingin memperluas jangkauan layanan TBC.
Di sisi lain, data dari rumah sakit swasta juga menunjukkan banyak yang tidak melaporkan kasus secara rutin. Hal ini memperbesar risiko “missing cases” yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Meski situasi kompleks, harapan belum sirna. Kabupaten Majene berhasil mencatat angka keberhasilan pengobatan hingga 92%. Di Mamuju Tengah, penemuan kasus dengan metode TCM (uji cepat molekuler) mulai meningkat.
Pemerintah provinsi juga telah merespon kebutuhan dengan mempercepat pengadaan mikroskop dan mendorong optimalisasi sistem pelaporan SITB. Termasuk dengan menerbitkan SE khusus soal pembiayaan TBC resisten obat, agar pasien tetap mendapat akses meski JKN-nya tidak aktif.
Namun upaya ini tak akan berarti tanpa kerja kolaboratif dari pemerintah, tenaga kesehatan, sektor swasta, dan tentu saja, partisipasi masyarakat, partisipasi saya dan kamu kawan
TBC di Sulbar Bukanlah Sekadar Masalah Kesehatan, tapi Soal Keadilan Akses
Tuberkulosis adalah cermin dari kesenjangan akses kesehatan. Saat seseorang bisa sembuh hanya karena tinggal lebih dekat dengan Puskesmas yang punya mikroskop, sementara yang lain dibiarkan batuk berdarah di pelosok tanpa perhatian, nah di situlah ketidakadilan itu nyata.
Jika kita ingin mengeliminasi TBC di tahun-tahun mendatang, maka data bukan hanya harus dicapai, tetapi juga dimaknai. Karena setiap angka adalah wajah, keluarga, dan masa depan yang bisa diselamatkan.