Di sebuah desa di pedalaman Sulawesi Barat, akhir 1990an, seorang wanita datang berkunjung setiap bulan dengan boncengan sepeda motor butut ke desa Kami di Pinggiran Sungai Mandar. Di depannya, duduk tegak seorang lelaki berseragam putih lusuh dengan Celana Panjang, suaminya yang juga seorang mantri. Perempuan itu kami panggil Suster. Tapi ia bukan suster rumah sakit kota. Puluhan tahun berlalu baru saya tahu bahwa Ia adalah bidan. Penolong ibu. Penjaga nyawa. Pengemban tugas kemanusiaan tanpa lelah.
Hari ini, dua dekade lebih setelah itu, angka mereka bertambah. Di seluruh Sulawesi Barat, tercatat 4.241 bidan berdiri teguh di berbagai penjuru yang tersebar 3.442 di Puskesmas, 799 lainnya di Rumah Sakit. Mereka tersebar di 98 Puskesmas dan 16 Rumah Sakit yang melayani enam kabupaten di provinsi ini. Di tengah medan yang tak selalu ramah, keterbatasan sarana, dan tantangan geografis, mereka tetap hadir bukan sekadar tenaga kesehatan, tapi sebagai penjamin kelangsungan hidup manusia.
Tahun ini, tema Hari Bidan Sedunia mengingatkan kita pada sesuatu yang kerap terlupakan: “Peran Strategis Bidan Dalam Memenuhi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan di Setiap Kondisi Krisis Menuju Indonesia Emas 2045”. Dalam bahasa global: “Midwives: Critical in Every Crisis”. Bukan tanpa sebab. Dalam setiap bencana, krisis sosial, atau pandemi, bidan adalah garda terdepan yang memastikan perempuan tetap memiliki hak dasar melahirkan dengan aman, mendapat pendampingan, dan tetap diperlakukan sebagai manusia utuh.
Kita sering menyambut kehidupan dengan suka cita, namun lupa siapa yang menyambutnya pertama kali yaitu bidan. Kita bangga pada statistik penurunan kematian ibu dan bayi, tapi tak selalu menyebut para bidan yang mengubah angka menjadi nyawa.
Di desa-desa, mereka tak sekadar tenaga kesehatan. Mereka adalah tetangga, pendengar, konselor, bahkan sahabat walau ada kadang jadi tukang Gosip, gosip kesehatan tentunta. Mereka hafal nama-nama bayi yang lahir di tangan mereka, ingat wajah-wajah ibu yang pernah ditolongnya, dan tetap berdiri ketika listrik padam, ambulans tak datang, atau ruang bersalin hanya sebatas tikar dan lampu pelita.
Maka harapan sederhana kita adalah semoga bidan semakin sejahtera. Tapi harapan besar kita adalah semoga negeri ini tidak lupa bahwa para bidan adalah penopang peradaban, penjaga awal kehidupan, dan pelindung yang tak pernah meminta sorotan.
Sebab di balik setiap tangis pertama bayi, ada tangan seorang bidan yang diam-diam menyelamatkan dunia.
Bidan, sahabat ibu, penolong persalinan.
Bidan, garda terdepan kesehatan ibu dan anak.
Bidan, hadir untuk setiap langkah kehidupan.