Tiga belas tahun lalu, saya pertama kali menginjakkan kaki di Kalumpang, sebuah kecamatan di pedalaman Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Butuh waktu hampir setengah harian untuk tiba, menyusuri jalan berbatu, melintasi sungai tanpa jembatan, dan menembus hutan-hutan lebat yang seperti menyembunyikan peradaban dari pandangan dunia luar.
Namun perjalanan saya kali ini, tiga tahun setelah kunjungan terakhir pada Maret 2022, begitu berbeda. Jalanan sebagian telah beraspal mulus dan pengerasan, kendaraan bisa melaju stabil walaupun kadang sesekali perlu penekanan pada pedal gas. Butuh hanya empat jam dari pusat kota Mamuju untuk sampai di Kalumpang, tepatnya di Puskesmas Kalumpang, tempat tujuan kunjungan kami dalam rangka memantau dan mendampingi pelaksanaan Transformasi Digital Kesehatan.
Saya tiba pukul satu siang bersama dua rekan. Sambutan khas Kalumpang pun menyambut: pisang goreng hangat dan makan siang bersama. Di tanah ini, tamu bukan sekadar disambut, ia dimuliakan.
Diskusi dengan petugas Puskesmas Kalumpang segera dimulai. Saya memeriksa langsung implementasi Rekam Medis Elektronik, bagian dari strategi besar Kementerian Kesehatan untuk mendigitalkan layanan kesehatan. Namun ada satu fakta yang menggugah capaian integrasi ke platform SATUSEHAT masih 0.
Puskesmas ini menggunakan aplikasi SIMKES Khanza, sistem open source yang dikembangkan oleh Yayasan SIMRS Khanza Indonesia. Aplikasi ini gratis, ringan, dan sangat membantu fasilitas kesehatan yang kesulitan anggaran. Nama Mas Windiarto, pengembang utama Khanza, layak disebut dan didoakan. Di pelosok seperti Kalumpang, jerih payahnya menjadi cahaya.
Namun realita tetaplah realita. Meski sistem telah terpasang, tak serta-merta semua berjalan lancar. Dibutuhkan lebih dari sekadar aplikasi seperti pelatihan, pendampingan, pemahaman, dan tentu saja dukungan kebijakan dari tingkat kabupaten hingga provinsi.
Saya sempat berjalan-jalan ke ruang rawat inap. Sekilas tampak sepi, bahkan cenderung tidak terawat. Mungkin karena memang tidak ada pasien. Tapi di tempat sekecil dan sejauh ini, ruang kosong seharusnya bukan alasan untuk kehilangan standar pelayanan.
Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Kalumpang sekira 3,4 ribu jiwa dan peserta JKN (BPJS) yang terdaftar di Puskesmas Kalumpang sekitar 2.990 jiwa. Bandingkan dengan standar ideal satu Puskesmas untuk 30.000 penduduk. Kecamatan Kalumpang memang memiliki tiga puskesmas Kalumpang, Karataun, dan Karama, ini menjelaskan rasio kecil tersebut. Bisa jadi pendekatan layanan dekat ke masyarakat lebih diprioritaskan ketimbang rasionalisasi jumlah penduduk.
Namun, tetap saja, kecilnya cakupan juga berarti tantangan keberlanjutan dan efisiensi layanan. Butuh strategi kolaboratif, terutama dari Dinas Kesehatan Kabupaten dan Provinsi, agar fasilitas kesehatan seperti ini tak tergerus di tengah arus transformasi yang kian cepat.
Tapi Kalumpang bukan hanya soal puskesmas dan jalan berlubang. Di balik lereng-lereng dan sungai yang kini sudah dijembatani, ada cerita tua yang tak banyak orang tahu.
Inilah tanah di mana diyakini bahwa bangsa Austronesia yang jejaknya menyebar dari Madagaskar hingga Hawaii pertama kali menginjakkan kaki di nusantara. Di sini, komunitas adat Tana Lotong masih hidup, menjaga tradisi, menjaga cerita. Situs-situs arkeologi berumur hingga 3.600 tahun sebelum masehi tersebar di berbagai titik. Di balik hening dan terpencilnya Kalumpang, berdiri sejarah yang jauh lebih tua dari banyak kota besar di negeri ini.
Sebuah ironi yang menarik di tempat di mana masa lalu begitu kuat mencengkeram, masa depan justru sedang bertatih-tatih diperkenalkan melalui transformasi digital kesehatan.
Kalumpang hari ini mungkin bukan lagi Kalumpang yang saya kenal 13 tahun lalu. Jalan telah baik, akses komunikasi mulai terbuka, dan gawai sudah menjadi bagian dari layanan publik. Dengan Modal selembar uang 5000 sudah bisa mendapatkan akses ke internet selama 5 jam.
Namun Kalumpang tetaplah Kalumpang jauh, sepi, dan sunyi. Tapi juga hangat, memuliakan tamu, dan sarat makna.
Transformasi digital kesehatan di tempat seperti ini bukan sekadar urusan data dan dashboard. Ia adalah upaya menyambung masa depan pada masa lalu, menyulam asa di antara batu dan pisang goreng hangat, di tanah di mana peradaban nusantara mungkin pertama kali mengucapkan salam.
Referensi tambahan : https://www.rri.co.id/wisata/715429/kalumpang-asal-muasal-peradaban-nusantara