Sabtu pagi ini, pukul 07.30 WITA, hawa Kalumpang masih terasa dingin sisa hujan malam sebelumnya. Rintik telah reda, meninggalkan kabut tipis yang menyelimuti lembah dan perbukitan. Saya bersiap bertolak ke Puskesmas Karama, salah satu titik penting dalam perjalanan mendampingi transformasi digital kesehatan di Kecamatan Kalumpang.
Berbeda dengan pengalaman sembilan tahun lalu, perjalanan kali ini tak lagi disertai degup jantung akibat derasnya sungai atau deru mesin perahu yang memekik telinga. Jalan darat yang kini telah terbuka membuat perjalanan ke Karama terasa jauh lebih bersahabat. Sekitar dua jam perjalanan dari Kalumpang, ditemani pemandangan alam yang memukau dengan bukit hijau, hamparan sawah, dan langit yang mulai cerah, seolah menyambut pagi penuh harapan.
Namun, di balik kenyamanan pagi itu, ingatan saya justru melompat jauh ke tahun 2016. Saat itu, saya menjadi bagian dari rombongan yang menempuh perjalanan panjang nan menantang menuju Karama. Jalan belum tersedia. Sungai menjadi satu-satunya urat nadi penghubung.
Perjalanan ditempuh dengan perahu motor yang mengarungi aliran sungai keruh selama 70 menit. Suara mesin ganda meraung-raung, beradu dengan suara deras air sungai. Perjalanan tak bisa dilakukan sepenuhnya dengan perahu. Di sekitar wilayah Tumonga, sungai dipenuhi batu-batu besar yang membuat kami harus transit di Taluttung, lalu melanjutkan perjalanan dengan ojek selama 5 menit. Setelah itu, kami kembali berganti perahu menuju Tambing-Tambing, kampung di mana Puskesmas Karama berdiri.
Saat itu saya bersama rombongan enam tenaga kesehatan dari Nusantara Sehat Batch 4, yaitu I Made Bayu Anggriawan, Fani Diorita, Ari Putra Pratama, Anissa Friega Madyusi, Theresia Aprilia Girsang, dan Marita Pitasari Simamora. Mereka muda, antusias, dan siap menghadapi tantangan. Turut pula bersama kami Ibu Nismawati dari Kementerian Kesehatan, Ibu Syamsiah dari Dinas Kesehatan Kabupaten, Darius Kepala Puskesmas Karama, Mas Agung, Asisten II Pemkab Mamuju, dan Jufri Badau dari Sekretariat Daerah.
Perjalanan itu bukan sekadar soal medan berat. Tapi juga tentang semangat: semangat membangun kesehatan dari wilayah yang hampir terlupakan.
Maka hari ini, saat mobil yang saya tunggangi sebagai driver melaju tenang di atas jalanan yangl yang rata dan beberapa titik masih mengalami kerusakan efek air hujan yang mengerus, saya tak bisa menahan rasa syukur. Karama kini terhubung dengan baik. Tak ada lagi perpindahan antarperahu, tak perlu lagi menggotong logistik kesehatan di atas pundak saat menyeberangi batu sungai.
Warga Karama patut bersyukur. Di tempat lain, akses yang baik sering dianggap biasa. Tapi di sini, itu adalah kemewahan yang baru saja mereka miliki
Saat tiba di Puskesmas Karama, saya mendapati suasana yang lebih hidup. Gedung yang yang menurut saya kurang representatif lokasi penempatannya, petugas yang ramah, dan semangat yang terasa dalam pelayanan. Diskusi ringan pun mengalir, membicarakan sistem digital, layanan primer, dan harapan-harapan baru.
Namun di balik semua itu, saya tahu bahwa tak ada transformasi tanpa pengingat akan perjalanan panjang. Puskesmas Karama hari ini adalah hasil dari jerih payah mereka yang dulu harus menembus hutan, menyeberangi sungai, dan bermalam dalam keterbatasan.
Karama hari ini memang bukan Karama 2016. Jalan telah terbuka, sinyal mulai menjangkau, dan kendaraan bisa datang dan pergi tanpa perlu mengarungi arus.
Tapi bagi saya, setiap kunjungan ke sini bukan hanya soal mendampingi program kesehatan. Ini adalah perjalanan batin yang mengingatkan kami kembali bahwa di balik sistem dan aplikasi, ada cerita manusia. Dan cerita itu lahir dari mereka yang memilih tinggal, bertugas, dan mencintai tempat ini.