Langit Mamasa membentang cerah, birunya seolah menyambut harapan baru saat kami menjejakkan kaki di RSUD Kondosapata, rumah sakit yang berdiri tenang di antara bukit dan doa, menjadi saksi bisu perjuangan dan harapan masyarakat Mamasa yang tak pernah padam. RSUD Kondosapata, sebuah rumah sakit di atas bukit, di desa bernama Balla. Jalanan menanjak dan berliku menjadi bagian dari rutinitas menuju fasilitas kesehatan rujukan utama satu-satunya milik Pemerintah di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Dari kejauhan, bangunannya terlihat kokoh. Cat hijau mendominasi dindingnya, seolah menyamarkan usang dan lumut yang mengintip di sudut-sudut tembok.
Tapi di balik warna itu, ada kenyataan yang sulit ditutupi, rumah sakit ini kekurangan hampir segalanya.
Tak ada dokter spesialis anak untuk memeriksa demam tinggi seorang bayi. Tak ada spesialis penyakit dalam untuk mengobati sesak napas seorang lansia. Tak ada dokter bedah jika ada kecelakaan lalu lintas di jalan berkelok pegunungan. Tak ada dokter kandungan untuk ibu-ibu Mamasa yang ingin melahirkan di kampung sendiri.
Yang tersedia hanya tiga dokter penunjang yaitu radiologi, anestesi, dan patologi klinik. Untuk urusan nyawa, mereka harus mengandalkan rujukan ke rumah sakit di Polewali atau Mamuju. Jarak yang bisa mencapai ratusan kilometer, waktu tempuh yang bisa berjam-jam, dan risiko yang bisa jadi fatal di tengah perjalanan.
Desember tahun lalu, Presiden Joko Widodo sempat datang ke sini. Ia berdiri di halaman rumah sakit, menyampaikan janji tentang pembangunan SDM, peningkatan layanan kesehatan, dan perhatian untuk wilayah sulit seperti Mamasa. Kamera-kamera menyorot, berita-berita menyebar. Tapi setelah rombongan presiden pergi, waktu kembali berjalan lambat. Janji tetap janji.
Kami berbicara pada beberapa tenaga medis yang enggan disebut namanya. Mereka bicara tentang keterbatasan, beban kerja, dan rasa putus asa. “Kami di sini bukan karena gaji,” kata salah seorang perawat, “kami di sini karena kami tidak bisa membiarkan warga kami tidak punya pilihan.”
Di lorong rumah sakit, aroma karbol bertemu bau lembab dari ruang-ruang yang jarang digunakan. Beberapa kamar kosong. Tidak karena tidak dibutuhkan, tetapi karena tidak ada tenaga medis untuk mengisinya. Di ruang tunggu yang jalannya mendaki ke atas, ada seorang ibu yang menggenggam tangan anaknya yang lemah. Ia menunggu. Bukan hanya giliran, tapi juga keajaiban.
Apa arti sebuah rumah sakit jika nyawa masih harus bertaruh jarak? Apa arti pembangunan jika ibu hamil masih harus melahirkan di jalan menuju rumah sakit rujukan? Dan apa arti keadilan jika fasilitas kesehatan di pegunungan hanya jadi latar belakang kunjungan presiden, tanpa perubahan berarti?
Ironisnya, di tengah semua keterbatasan layanan medis, Kabupaten Mamasa justru mencatat angka harapan hidup tertinggi di Provinsi Sulawesi Barat, yakni 71,58 tahun, lebih tinggi dari 5 Kabupaten lainnya di provinsi Sulawesi Barat. Angka ini seperti menjadi paradoks bahwa semangat hidup dan ketahanan masyarakat mampu bertahan, bahkan tumbuh, meski infrastruktur dasar belum sepenuhnya hadir.
Ketika fasilitas dasar seperti dokter spesialis 4 dasar saja tidak bisa dihadirkan, kita harus bertanya ulang untuk siapa pembangunan itu sebenarnya?