Selasa Siang in, tepatnya 24 Juni 2024 saya berada di Aula Ammana Wewang Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat untuk mengikuti pelaksanaan Assesment Outbreak Response Assessment (OBRA) . Saya duduk di barisan kedua, berdampingan dengan Kang Yogi dan Pak Muslimin dari tim Imunisasi , serta Bang Anwar dari tim Kesehatan Lingkungan. Di depan, dr. Indahwati Nursyamsi, Kepala Bidang P2P, memaparkan materi pelaksanaan Outbreak Response Assessment (OBRA) tahap ketiga sesuai kondisi Sulawesi Barat. Momen ini penting untuk daerah dan negeri ini, karena jadi penentu status Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio.
OBRA bukan sekadar evaluasi. Ia adalah bentuk pengakuan bahwa sistem surveilans dan respons imunisasi daerah sedang diuji dan dinilai layaknya seorang mahasiswa ujian Skripsi.
Tim asesor dari WHO yang hadir via daring tak hanya memeriksa berkas dan angka, tapi juga mengamati denyut nadi komitmen. Dan rupanya, Sulbar memberi kesan. WHO memberi apresiasi atas kinerja surveilans provinsi ini, sebuah angin segar di tengah capaian Imunisasi di tanah Mandar ini yang belum terlalu menggembirakan di 2 tahun terakhir.
Surveilans AFP di Sulbar menunjukkan geliat yang meyakinkan. Kabupaten Mamasa, misalnya, mencatat lonjakan NPAFP Rate menjadi 24,12 per 100.000 anak, jauh di atas ambang standar WHO sebesar 2. Bahkan di Mamuju Tengah, cakupan specimen adequate pada 2025 telah mencapai 100%. Artinya, bukan hanya jumlah laporan meningkat, tetapi kualitas deteksi dan pelaporan pun mengalami perbaikan nyata.
Polio: Virus Lama, Ancaman Baru
Polio bukan penyakit asing bagi Indonesia. Kita sempat menyandang status “bebas polio” pada Maret 2014 bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya. Tapi sejak 2022, gelombang kecil datang lagi. Tercatat 13 kasus polio yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Penyebabnya: VDPV2, alias Vaccine Derived Polio Virus tipe 2 yang merupakan mutasi virus dari vaksin oral yang terjadi jika cakupan imunisasi rendah dalam waktu lama.
Di sinilah pentingnya OBRA. Ia menjadi mekanisme global untuk mengevaluasi kesiapan sistem. Bukan hanya soal vaksin, tapi juga kesiagaan dalam mendeteksi dan merespons lumpuh layuh mendadak (AFP). Bila selama 6 bulan tak ditemukan lagi virus dan respons dinilai berkualitas, maka KLB bisa dicabut.
Tantangan kita Bukan Hanya Vaksinasi
Tak mudah menjaga cakupan imunisasi di angka >95% secara merata. Sulawesi Barat, meski memiliki NPAFP Rate menggembirakan, masih memiliki catatan pada distribusi petugas surveilans dan koordinasi. Di beberapa kabupaten, seperti Pasangkayu dan Mamuju Tengah, jumlah tenaga surveilans yang telah mendapat peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan webinar masih belum optimal jika dibandingkan kebutuhan lapangan.
Namun, bukan berarti tak ada kemajuan. Setiap kabupaten telah melakukan OJT, TOT, hingga MOOC untuk memperkuat kapasitas SDM. Webinar dan workshop tak lagi jadi formalitas, tapi bagian dari rutinitas pembangunan sistem kesehatan yang tangguh.
OBRA, Lebih dari Sekadar Asesmen
Saya menyaksikan, bukan hanya angka yang dibacakan. Ada gelora, ada kebanggaan. OBRA menjadi ruang temu lintas disiplin. Di situ ada imunisasi, surveilans, manajemen logistik, hingga pengelola laboratorium. Masing-masing membawa perannya, dan Sulbar memperlihatkan bahwa ia layak dilibatkan dalam perbincangan nasional.
Apakah KLB akan dicabut? Kita belum tahu. Tapi hari ini, dari ruang aula yang tidak terlalu luas, saya menyaksikan satu hal semangat tak bisa dinilai dengan skor, tapi bisa dirasakan dari cara orang bekerja dan berdiskusi.
Dan semangat itu nyata di Sulawesi Barat, saya rasakan di Ruang Ammana Wewang ini.
–