Catatan Perjalanan dari Makassar ke Mamuju dalam Bus Rasa Rumah
Sore hampir berganti malam saat deru mesin mulai terdengar di Kompleks Ruko bernama HCC, Tamalanrea, Makassar. Bukan terminal resmi, tetapi selama bertahun-tahun menjadi titik keberangkatan alternatif bagi bus antarkota di Sulawesi. Di sanalah saya berdiri, menunggu sesuatu yang baru, bus putih dengan uliran merah milik Rinra Trans.
Nama lengkapnya terdengar janggal di telinga, tapi justru mencuri perhatian: Rinra Trans by PT. Roti Maros Salempang. Ya, perusahaan roti legendaris asal Maros itu kini merambah jalan raya. Tidak hanya menjual rasa dalam bentuk kudapan, tapi juga dalam perjalanan, begitulah saya menyebutnya secara harfiah.
Dan saya ingin tahu, apakah “roti” bisa benar-benar terasa dalam sebuah sleeper bus.
Tidur di Jalan Raya, Rasa Premium di Trans Sulawesi
Empat armada yang mereka operasikan memang belum banyak. Tapi ambisinya terasa pada dua jenis layanan disediakan, layanan kursi reguler dan sleeper seat. Saya memilih yang kedua. Didorong rasa penasaran, juga harapan akan pengalaman baru di jalur yang tak pernah benar-benar berubah.
Di dalam kabin, kejutan pertama datang melalui pencahayaan temaram, tempat tidur semi rebah berlapis bantal tebal, selimut yang halus, kru berseragam rapi, dan layar TV kecil tergantung di depan mata. Semua ditata untuk satu misi menjadikan perjalanan sebagai waktu istirahat yang pantas.
Apakah ini cukup? Untuk penumpang yang telah terbiasa melewati jalur Makassar–Mamuju belasan kali dalam kondisi ala kadarnya, ini terasa seperti naik kelas.
Retribusi, Ritual, dan Kenyataan Terminal
Namun, kenyataan tetap menyelinap. Tak lama setelah bus meninggalkan HCC, kami masuk ke terminal resmi. Satu demi satu, penumpang diminta turun. Tanpa banyak penjelasan, kami membayar Rp3.000 untuk retribusi. Dengan sebuah karcis kecil warna kuning, tak ada pertanyaan. Semua berjalan seolah-olah ini bagian dari tradisi.
Di dunia yang ingin bergerak maju, ritual seperti ini mengingatkan kita bahwa sistem belum sepenuhnya berubah. Tapi setidaknya, perjalanan masih bisa dilanjutkan.
Roti Maros, Rasa yang Tidak Lupa Asalnya
Bus berhenti sejenak di Pool Roti Maros Salenrang, pusat logistik Rinra Trans yang juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Di sana, setiap penumpang disambut dengan hangat bukan dengan sekadar istirahat. Setalah kembali keatas bus di sambut dengan snack box berisi roti cokelat kopi khas Salenrang, minuman, permen, dan air mineral yang telah tersedia di samping selonjoran.
Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Ini bukan sekadar kudapan. Ini warisan rasa yang ikut menumpang dalam kabin bus, menyapa lidah penumpang yang lelah.
Di luar jendela, langit mulai gelap. Di dalam mulut, ada sisa manis dari roti yang mengingatkan saya: inilah cara Rinra membawa rumah ke jalan.
Harga, Lagu Lama, dan Masa Lalu
Tiket bus Rinra Trans sebesar Rp300.000, harga yang setara dengan sleeper bus lainnya. Tapi nilainya lebih dari angka. Ini bukan soal ekonomi perjalanan, tapi pengalaman. Malam itu, sambil selonjoran di sleeper seat, lagu dari kabin tiba-tiba memutar baris-baris lirik yang familiar:
“Selamat tinggal masa lalu, maafkan segalanya…”
Mungkin hanya lagu lama. Tapi malam itu, di tengah kelok jalan dan gelap yang merambat, lagu itu berubah jadi doa sunyi. Untuk segala yang pernah ditinggalkan di jalan panjang Trans Sulawesi.
Lebih dari Bus, Ini Cerita Tentang Cara Baru Melihat Perjalanan
Rinra Trans tidak sekadar menawarkan sleeper seat. Mereka membawa pendekatan baru dengan mencampurkan dunia transportasi dan kuliner dalam satu lintasan. Mereka membawa “roti” sebagai identitas, bukan sekadar nama.
Dan di Sulawesi, di mana PO bus bersaing sengit dan loyalitas penumpang kerap ditentukan oleh kecepatan dan harga, pendekatan ini terasa segar.
Mungkin inilah yang dibutuhkan, bukan hanya cepat, tapi juga hangat. Bukan hanya sampai, tapi juga dikenang.
Langit malam masih menggantung ketika saya mengetik catatan ini di dalam kabin Rinra Trans. Kaca Jendela yang full di sisi kanan hanya memperlihatkan bayangan pohon dan lampu sesekali. Tapi ada rasa damai di dalamnya.
Tidak semua perjalanan menyenangkan. Tapi kali ini, ia memberi saya alasan untuk bersyukur. Untuk kembali percaya bahwa meski jalan panjang dan berliku, rasa baru selalu mungkin ditemukan.
Insya Allah selamat sampai Mamuju.
Dan terima kasih, Rinra. Rasa pertamamu akan sulit dilupakan.