Sabtu pagi-pagi buta, langkah saya menuju Puskesmas Totoli terasa lebih ringan dari biasanya. Janji sudah diatur sehari sebelumnya dengan Dinas Kesehatan Majene. Meski kunjungan ke fasilitas kesehatan bukan hal baru bagi saya, kali ini ada sesuatu yang berbeda dan bukan sekadar perbedaan fisik bangunan.
Begitu masuk, saya langsung disambut wajah baru Puskesmas ini. Ruang tunggu yang dulu terbuka kini sudah tertutup rapat, lebih nyaman bagi pengunjung. Ruangan Rekam Medis Elektronik (RME) dipindahkan ke sisi ujung, tepat di dekat jalanan, seakan menegaskan bahwa transformasi digital memang sudah menjadi “pintu depan” pelayanan kesehatan. Sebuah gedung baru untuk rawat inap pun berdiri megah, bukti nyata bagaimana Puskesmas terus berbenah.
Namun yang paling berkesan bukan hanya dinding dan bangunan yang berubah, melainkan orang-orang di dalamnya.
Saya duduk berdiskusi dengan Kepala UPTD Puskesmas Totoli, A. Nurriza Rachma. Ada irisan cerita personal di sana. Nurriza adalah teman sekolah dari Fita, rekan kantor saya dulu yang kini sudah berkarier di Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan. Kami bahkan sempat melakukan panggilan video singkat dengan Fita, sebuah reuni kecil yang menghadirkan nostalgia, menyingkap cerita lama di tengah obrolan serius soal implementasi transformasi teknologi kesehatan.
Tak berhenti di situ, saya juga berjumpa dengan seorang kawan lama dari masa kuliah S1. Namanya Aty, begitu saya biasa memanggilnya. Dulu ia seorang bidan, lalu melanjutkan studi di jurusan Kesehatan Masyarakat di kampus merah Unhas. Kini ia bertugas di Totoli, bahkan dipercaya memegang amanah tambahan sebagai bendahara Puskesmas. Melihatnya kembali, dalam balutan peran baru yang penuh tanggung jawab, menghadirkan rasa hangat sekaligus kagum.
Diskusi kami di Z-Cafe, tepat di seberang Puskesmas, terasa lebih dari sekadar percakapan teknis tentang Rekam Medis Elektronik. Di balik obrolan tentang sistem, data, dan pelayanan, terselip kisah tentang pertemuan kembali, tentang perjalanan hidup masing-masing, dan tentang bagaimana persahabatan lama menemukan maknanya di ruang-ruang baru.
Sebelum bubar, saya sempat bergurau, bahwa Ibu Nurriza mungkin bukan pembicara ulung, tapi ia pekerja handal. “Sulapannya” nyata, dari wajah Puskesmas yang berubah, hingga sistem pelayanan yang lebih tertata. Candaan itu justru menyimpan keseriusan bahwa perubahan di Totoli tidak lahir dari retorika, melainkan kerja sunyi orang-orang yang setia pada tanggung jawabnya.
Puskesmas Totoli berubah pelan, tapi pasti. Dan di balik perubahan itu, ada jejaring manusia, pertemuan kembali, dan kerja yang terus mengalir untuk satu tujuan meningkatkan kesehatan masyarakat.





