Jalanan yang menurun dengan tajam menjadi tantangan tersendiri bagi kami, para relawan, saat mulai memasuki jalanan setapak menuju Dusun Mollo. Jalan berbeton selebar kurang lebih satu meter sudah nampak berlubang di beberapa sisi. Pengendara mesti berhati-hati melalui jalan ini karena kesalahan sedikit saja bisa menyebabkan terjatuh dan mencium beton keras.
Di sebelah kanan jalan, terdapat aliran sungai kecil dan rerimbunan pohon coklat milik warga. Setelah menempuh jalan setapak sekitar 500 meter dari jalan Poros, kami bertemu dengan sebuah jembatan gantung. Jembatan ini merupakan penghubung utama antara Dusun Mollo dengan wilayah luar. Namun, untuk melaluinya, diperlukan kehati-hatian ekstra karena lantai jembatan yang sudah mulai lapuk dimakan zaman, membuat strukturnya tidak lagi kokoh.
Alhamdulillah, semua motor yang kami pakai berhasil melewati jembatan ini dengan selamat. Selanjutnya, kami menghadapi pendakian di depan. Motor Rahmat, relawan fotografer kami, sempat mengalami masalah dengan tali kipas dan knalpotnya yang mengeluarkan asap serta bau yang tidak sedap. Bagi yang baru belajar mengendarai motor, tidak disarankan untuk membawa motor sendiri melalui jalur ini.
Di ujung pendakian, kami disambut dengan rerimbunan pohon coklat dan jalan berlubang yang lebih parah dibandingkan jalan sebelumnya. Motor yang kami pakai mengalami perlambatan, berbanding terbalik dengan banyaknya lubang jalan yang tidak bersahabat dengan motor “matic” yang saya gunakan. Untunglah, si Merah bisa diajak sedikit berdamai dengan pelan-pelan menyusuri jalanan yang berlumpur dan penuh genangan air.
Setelah berkendara sekitar 10 menit, kami melihat rumah pertama di sebelah kanan jalan, sebagai tanda bahwa kami telah memasuki wilayah pemukiman Dusun Mollo. Rumah-rumah yang cukup berjauhan dan pepohonan yang rimbun membuat Mollo terasa sangat “ndeso”. Ibarat gadis, masih perawan 100%. Udaranya bersih, jalanan becek dan berlumpur, rumah semi permanen, dan sungai kecil yang membelah kampung ini memberikan sensasi tersendiri.
Kondisi yang ada membuat saya merasa seolah-olah berada di dusun yang terpencil dan jauh dari kota. Namun kenyataannya, Dusun Mollo hanya berjarak kurang lebih tujuh kilometer dari pusat pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Mamuju. “Tertinggal memang,” ujar saya dalam hati.
Jika dibandingkan dengan Desa Polio yang saya kunjungi tahun lalu, sangat berbeda. Desa Polio di Karama Kalumpang memiliki lingkungan yang lebih tertata dengan baik dan jalanan yang lebih bersahabat dibandingkan dengan tempat kami berdiri sekarang. Ini adalah masalah yang berat, kondisi-kondisi seperti ini menjadi alasan Mamuju Mengajar memilih dusun ini sebagai wilayah dampingan selama setahun.
Motor kami tidak dapat mencapai sekolah karena jalanan yang berlumpur tidak karuan, sehingga kami harus memarkirkan motor di pekarangan rumah salah satu warga. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 200 meter, menyebrangi kali kecil yang membelah dusun ini.
Malam pertama ini, kami menginap di sekolah. Ada beberapa agenda yang terjadwal, di antaranya perkenalan dengan warga dan siswa, nonton bareng, kerja bakti, senam, dan mengajar sehari di alam. Semoga semuanya terlaksana dengan baik.
Dusun Mollo, 9 Maret 2019