Langit Mamuju berwarna kelabu ketika kami bertolak. Awan menggantung rendah, seolah menggambarkan perasaan kami yang sedang diayun oleh harapan dan kesungguhan. Pukul 11.30 WITA, saya bersama Pak Madur dari Dinas Kominfo Provinsi Sulawesi Barat memulai perjalanan menuju Puskesmas Pamboang di Majene, tempat di mana sebuah babak baru dalam dunia kesehatan digital sedang menggeliat. Puskesmas ini adalah salah satu pionir dalam implementasi Rekam Medis Elektronik (RME) di wilayah Majene Sulawesi Barat, sebuah usaha untuk mendigitalisasi jejak medis, yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan dalam satu sentuhan jari.
Perjalanan kami, meski terikat oleh tugas dan tanggung jawab, terasa seperti sebuah ritual yang menghubungkan manusia dengan teknologi. Jalan yang kami tempuh berkelok seperti waktu yang tak pernah lurus, penuh liku dan kejutan. Di Takandeang, kami tertahan cukup lama di antrian Jembatan Kuning, ini menjadi sebuah simbol bahwa, meskipun teknologi semakin maju, kehidupan tetaplah penuh penantian.
Waktu melambat ketika kami berhenti sejenak di Masjid Riadhul Jannah Dusun Taparia Desa Tampalang untuk menunaikan salat Zuhur. Di situ, di bawah kubah yang sunyi, kami terhubung dengan Yang Maha Kuasa, seolah meminta bimbingan untuk tugas yang akan kami jalani di Puskesmas Pamboang. Setelah itu, kami mengisi perut di Onang dengan hidangan sederhana: pangsit dan nasi goreng. Makanan yang mungkin tampak biasa, tetapi mengandung energi untuk melanjutkan perjalanan panjang.
Pukul 14.30 WITA, kami tiba di Pamboang. Udara terasa segar, seperti napas alam yang baru terbangun dari tidur panjang. Di Puskesmas Pamboang, perubahan sudah terasa bahkan sebelum kami melangkah masuk. Bangunannya, yang terlihat biasa dari luar, menyimpan visi besar di dalamnya. Puskesmas ini, di bawah kepemimpinan Pak Taslim, telah menyulap dirinya menjadi pusat pelayanan kesehatan yang modern dan terdepan. Di antara dinding-dinding yang kokoh, ada semangat yang tak kasat mata namun terasa jelas: keinginan untuk maju lebih cepat, untuk menjadi cahaya di ujung barat Tanah Malaqbi.
Setelah sapaan hangat dari kepala puskesmas dan stafnya, kami langsung bekerja. Instalasi server menjadi agenda utama. Kali ini, kami merubah sistem operasi dari Ubuntu ke Linux Mint, sebuah pelajaran baru yang saya dalami bersama Pak Madur dan teman-teman di komunitas pengguna Khanza di Sulawesi Barat. Di depan monitor yang berkedip-kedip, kami tak hanya bermain dengan kode dan perangkat lunak, tetapi juga menenun masa depan pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan efisien.
Puskesmas Pamboang bukanlah tempat yang asing bagi saya. Sejak menjadi abdi negara kurang lebih 13 tahun lalu saya sering berkunjung ke Puskesmas ini untuk mengais ilmu dan pembelajaran nyata dilapangan. Kemudian dua tahun lalu, di akhir 2023 saya dan Acca, sahabat saya sejak SMP, menginjakkan kaki untk kesekian kalinya di sini untuk instalasi awal RME. Waktu itu, suasana di sini penuh harap dan kecemasan, seperti seorang anak yang baru belajar berjalan, penuh ketidakpastian. Namun kini, Pamboang telah menjadi remaja yang tangkas, berlari cepat menuju masa depan yang cerah. Update aplikasi berjalan lancar, dan saya bangga melihat bagaimana Pamboang tetap menjadi puskesmas pertama di Majene yang mengimplementasikan RME.
Di setiap sudut ruangan, saya merasakan kehadiran orang-orang yang bekerja bukan hanya dengan otak, tetapi dengan hati. Mereka adalah jiwa-jiwa yang menghidupkan Puskesmas ini, yang menjadikan tempat ini lebih dari sekadar bangunan kesehatan. Mereka adalah alasan mengapa transformasi ini berjalan mulus.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah dokter gigi muda di sini. Usianya masih muda, namun tanggung jawab di pundaknya besar. Di tengah kesibukan mengurus empat anak yang masih kecil, ia tetap berdedikasi melayani pasien dengan senyum tulus dan jadi salah satu penggerak dalam proses transformasi di Puskesmas hijau Tosca ini. Ada pula Kina, perawat gigi yang merangkap sebagai PJ Rekam Medis. Dengan langkah tenang namun pasti, ia memastikan setiap data pasien tercatat dengan sempurna, seolah menjaga agar tak satu pun kisah kesehatan luput dari ingatan digital.
Namun, di antara semua, Aidilla adalah sosok yang paling berkesan bagi saya. Gadis berkacamata dengan latar belakang ilmu komputer ini adalah kekuatan tersembunyi di Puskesmas Pamboang. Di balik senyumnya yang manis, Aidilla memegang kendali penuh atas teknologi yang berjalan di puskesmas ini. Ia adalah jembatan yang menghubungkan tenaga medis dengan sistem digital, memastikan bahwa setiap catatan medis dapat diakses dan digunakan secara optimal.
Kehadirannya membuktikan bahwa teknologi bukanlah sekadar alat, tetapi bagian dari manusia itu sendiri. Aidilla adalah contoh bagaimana perempuan bisa menjadi garda terdepan dalam transformasi digital, mengubah pandangan bahwa dunia teknologi hanya milik kaum lelaki.
Hari semakin sore ketika tugas kami di puskesmas mulai mendekati akhir. Untuk mengakhiri kerja keras hari itu, kami diajak makan malam di sebuah rumah makan yang bernama Dapur Mandar. Di sana, hidangan ikan masak khas Mandar tersaji di atas meja, rasa laut yang segar berpadu dengan bumbu yang menggugah selera dengan alunan dan riak ombak yang menari-nari membawa kami pada kenikmatan yang sederhana namun mendalam.
Di Dapur Mandar, sambil menikmati hidangan, kami tak hanya berbicara tentang teknologi dan kesehatan, tetapi juga tentang kehidupan. Bersama dengan Kina, Aidilla dan Bidan Lisa, kami banyak bercerita tentang bagaimana Puskesmas Pamboang dulu pernah menjadi salah satu puskesmas terbaik di Sulawesi Barat. Dengan hal – hal yang pribadi. Saya yang memang memiliki penyakit “Super Kepo” jadi salah satu bintang utama di meja makan.
Makan malam itu terasa seperti sebuah perayaan. Bukan hanya tentang apa yang telah kami capai hari itu, tetapi juga tentang semangat kolektif yang tumbuh di Pamboang. Semangat untuk terus maju, untuk tetap menjadi yang terdepan, meski tantangan datang silih berganti.
Waktu telah menunjukkan pukul 22.30 ketika kami selesai dengan segala urusan teknis di puskesmas. Udara malam terasa dingin, namun hati kami hangat oleh rasa puas. Dengan keyakinan bahwa sistem berjalan lancar dan aplikasi berfungsi dengan baik, kami memutuskan untuk kembali ke Mamuju.
Perjalanan pulang malam itu seperti perjalanan kembali ke asal. Sepanjang jalan, saya merenung tentang perjalanan panjang yang telah ditempuh Puskesmas Pamboang. Dari instalasi pertama dua tahun lalu hingga malam ini, ketika kami memastikan bahwa puskesmas ini tetap menjadi yang terdepan dalam implementasi RME. Pamboang telah menunjukkan bahwa meski dengan segalan keterbatasa, namun dengan semangat dan kerja keras, mereka bisa menjadi contoh bagi puskesmas lainnya di Tanah Malaqbi.
Lampu-lampu kendaraan yang melintas di jalanan malam seperti bintang yang berkilauan di langit hitam. Gerimis tipis turun, seolah alam turut merayakan keberhasilan kami hari itu. Saya merasa bahwa perjalanan ini bukan sekadar tugas, tetapi sebuah panggilan. Panggilan untuk terus membantu tempat-tempat seperti Puskesmas Pamboang, agar mereka tak pernah tertinggal dalam arus perubahan zaman.
Ketika saya akhirnya kembali ke rumah di Mamuju, hari telah berganti dari sabtu ke Ahad. Namun, pikiran saya masih tertuju pada Puskesmas Pamboang. Puskesmas ini, dengan segala keterbatasannya, telah berhasil melangkah lebih jauh dari yang pernah dibayangkan. Ia adalah simbol harapan bahwa transformasi digital dalam dunia kesehatan bukanlah sekadar mimpi, tetapi sebuah kenyataan yang perlahan-lahan terwujud.
Dan saya percaya, semangat yang ada di Pamboang akan terus menular. Ia akan menjalar ke seluruh penjuru Sulawesi Barat, membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat. Cahaya yang telah dinyalakan di Pamboang kini bersinar terang, dan saya yakin, ia akan terus bersinar, tak hanya untuk Majene, tapi untuk seluruh Pusksesmas di Tanah Malaqbi, Lita’ Mandar.
—–
Mamuju, 08 September 2024