Namanya Kaco. Bukan nama asli, hanya samaran. Lelaki berusia 42 tahun itu sudah bertahun-tahun hidup dengan batuk menahun. Awalnya ia kira sekadar batuk biasa, sisa dari cuaca dingin atau kebiasaan merokok teman-temannya yang membuat udara rumah kontrakannya pengap. Namun batuk itu tak pernah benar-benar hilang. Semakin lama, tubuhnya makin kurus, napasnya makin sesak.
“Saya pikir cuma masuk angin. Paling parah ya TBC orang tua dulu. Ternyata sekarang saya kena juga,” katanya lirih ketika ditemui di sebuah puskesmas di pinggiran kota.
Kaco bukan satu-satunya. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, pada 2023 Indonesia menyumbang 10 persen kasus TBC dunia atau sekitar 1,1 juta orang. Angka itu naik dibanding 2010 yang masih di kisaran 7 persen. Tahun 2025, diperkirakan lebih dari 1 juta orang di Indonesia sakit TBC, dengan 125 ribu di antaranya meninggal, Indonesia kini menempati posisi kedua penyumbang kasus TBC terbanyak setelah India.
Di kampungnya, Kaco sering mendapat stigma. Batuk panjang dianggap aib. “Orang-orang takut dekat. Katanya penyakit kutukan,” ucapnya. Padahal, TBC bukan sekadar urusan pribadi, namun ia penyakit menular yang bisa dicegah dan diobati, bila ditangani tepat.
Pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan sejumlah strategi mulai dari skrining gratis lewat program Cek Kesehatan Gratis (CKG), layanan terpadu One Stop Service i puskesmas, hingga pembentukan Desa/Kelurahan Siaga TBC di berbagai daerah. Namun bagi orang-orang seperti Kaco, informasi sering kali tak sampai. Yang ada hanyalah rasa malu, takut berobat, dan biaya hidup sehari-hari yang lebih mendesak.
“Kalau saya nggak kerja, anak makan apa? Jadi tetap ke ke kebun untuk bertani, walau badan lemas,” ujarnya.
WHO menyebut TBC sebagai penyakit tua yang telah membunuh 1 miliar manusia dalam 200 tahun terakhir. Hingga kini, setiap tahun diperkirakan 10,8 juta orang jatuh sakit dan 1 juta meninggal akibat TBC di seluruh dunia.
Kaco adalah wajah dari angka-angka itu. Ia mengingatkan bahwa TBC bukan sekadar data dalam laporan tahunan, melainkan kisah nyata orang-orang yang tubuhnya perlahan rapuh, yang napasnya makin pendek, yang diam-diam berjuang melawan penyakit dalam sunyi.
“Kalau bisa sembuh, saya mau sehat lagi. Mau main sama anak tanpa batuk,” kata Kaco, menatap jauh.
Di balik strategi besar eliminasi TBC, ada wajah-wajah kecil seperti Kaco yang perlu dijangkau. Eliminasi tak hanya soal regulasi, dana, atau program kesehatan, tapi juga soal menghapus stigma dan memberi ruang aman bagi pasien untuk sembuh.
Karena pada akhirnya, TBC bukan hanya soal batuk yang tak kunjung reda. Ia adalah cerita tentang hidup yang ingin kembali utuh.